Rumah Bertuah

Siti Khodijah Lubis
Chapter #1

Menyambut

Pria paruh baya berkemeja abu-abu menutup semua pintu dan jendela rumahnya dengan tergesa-gesa. Debaran jantungnya menggedor-gedor dari dalam. Derit jendela dan pintu terdengar seperti erangan. Malam itu terlalu sunyi, angin dingin membawa aura mencekam dan ketakutan. Dalam rumah bercat putih yang apik, raut-raut wajah yang pucat berkumpul panik di ruang tengah.

Mami Disa, wanita paruh baya bergaun selutut, memeluk bayinya erat-erat. Tubuhnya bergetar. Di pelukannya, bayi kecil menangis pelan, seakan mengendus aroma kecemasan yang menebal di udara. Di belakangnya, Jemima Alexa, putri mereka yang sudah remaja, mondar-mandir sambil menggigit kuku.

“Apa mereka sudah dekat, Pa?” bisik Mima, nyaris tak bersuara.

 

Pria beruban yang dipanggil Papa berdiri di dekat pintu. Telinganya menajam, tubuhnya tegang.

“Entahlah,” tampak jelas kegelisahan pada tatapannya. “Tapi kita harus bersiap!”

Jevian, anak sulung, berdiri paling depan. Badannya tinggi dan tampak kokoh, tapi rahangnya mengeras, seperti memaksa dirinya menjadi lebih berani dari yang lainnya.

“Aku bisa keluar lewat belakang, Pa. Pantau keadaan.”

“Jangan!” pria paruh baya itu mencegah cepat. “Kita harus tetap bersama, apa pun yang terjadi.”

“Apa… salah kita, Pa?” suara Mima pecah.

Jawabannya tidak pernah benar-benar didapatkan. Mereka tidak tahu siapa orang-orang itu. Hanya tahu belakangan ini banyak ancaman dan intimidasi yang terjadi. Pelemparan batu ke tempat usaha mereka, seseorang memantau rumah mereka.

Dari kejauhan, angin membawa fragmen suara, derap langkah yang ramai dan terburu-buru, sesuatu yang jatuh. Lalu hening.

“Aku nggak mau mati, Mi…” Mima tersedu, memegang tangan kakaknya. Jevian menggenggam kuat, seolah dengan itu ia bisa melindunginya dari dunia luar.

Mami Disa menarik napas dalam, lalu memeluk Mima dan Jevian sekaligus.

“Tolong dengarkan Mami sekarang. Apa pun yang terjadi setelah ini… jangan lepaskan satu sama lain.”

“Gedebuk!”

Semua menoleh. Suara itu datang dari halaman samping, seperti seseorang menabrak tong sampah, lalu tergesa berlari. Papa Teo langsung meraih ponsel besar, namun listrik tiba-tiba mati. Hanya lampu emergency yang menjadi penerang mereka sekarang.

“Mereka di sini…” bisik Jevian, nadanya serak.

Tangisan bayi semakin keras.

Mami Disa menatap wajah bayi di gendongannya. Ia mencium kening bayi itu berkali-kali, terlalu banyak untuk hitungan detik.

Kemudian matanya beralih pada Weni, asisten rumah tangga mereka yang berdiri gemetar di ujung ruangan.

“Weni,” katanya lirih, “bawa Nardo. Keluar lewat pintu belakang. Lari! Jangan lihat belakang.”

“Bu… tapi saya-”

“TOLONG!” untuk pertama kalinya suara Mami Disa pecah. “Selamatkan anak saya. Anggap anak kamu sendiri!”

Weni menggigit bibir, air matanya mengalir, lalu menerima bayi itu ke pelukannya. Vinardo menangis, lalu diam, seolah mengerti banyak tentang situasi di usianya yang baru tiga bulan.

Jevian maju selangkah, menahan bahu Weni. “Tolong jaga adik saya,” katanya. Tatapannya tegas walau matanya basah. “Semoga kita bisa bertemu lagi.”

Weni mengangguk, terburu-buru.

Kemudian ia melangkah ke pintu belakang, membuka sedikit, memastikan jalan aman. Angin malam menusuk masuk. Ia menelan ludah, lalu berlari menghilang ditelan gelapnya malam.

Saat pintu menutup, suara dari luar tiba-tiba menjadi lebih dekat. Derap langkah kaki menghentak tanah, napas orang-orang yang berlari dan mengendap-endap.

Mima menjerit kecil. Papa Teo memanggil mereka untuk segera ke loteng, menyuruh mereka menahan napas.

Jevian meraih tangan adiknya, berbisik, “Semua akan baik-baik aja.”

Ia sendiri bahkan tidak yakin dengan ucapannya.

 

 

“Bruk brak bruk brak!” langkah-langkah itu kini tepat di luar pintu.

Rumah yang tadinya teduh berubah menjadi panggung tragedi. Suara daun pintu didobrak, kaca dipecahkan, disusul teriakan putus asa. Kemudian darah menyiprat di dinding putih, bau amis menguar di penjuru ruangan.

 

Sesungguhnya malam itu bukan hanya pintu rumah yang dibuka, melainkan takdir keluarga Jayadi, hingga bertahun-tahun ke depan. Dan rumah itu merekam semua ingatan dalam kebisuannya.

Lihat selengkapnya