Pagi itu mood Rinai sudah terasa seberat tumpukan formulir onboarding karyawan baru yang menunggunya. Dokumen yang harus selalu ia cetak dan salin berulang kali sebelum akhirnya disusun rapi setiap hari. Ia baru saja meletakkan tas selempangnya di kursi, yang sudah melayaninya tiga tahun dan kini tampak lusuh di antara tas-tas bermerek rekan kerjanya. Belum sempat ia menyalakan komputer, suara melengking Dina, salah satu dari tiga barbie toxic, sudah menyambut.
“Ya ampun, Rinai. Pagi-pagi gini, muka udah kusut aja. Semalam kurang tidur? Atau sibuk begadang susunin sertifikat training setinggi gunung salak?” sindir Dina sambil tertawa renyah. “Gitu sih deritanya jadi admin tukang cetak dan fotokopi.”
Mendengar sindiran yang merendahkan tugasnya sebagai Admin Support Operasional, Rinai hanya bisa menggenggam pena di tangannya. Namun, belum sempat Rinai merepons, Mareta yang mengantar Rinai masuk ruangan langsung menyela dengan nada elegan.
“Dina…Dina,” potong Mareta. “Rinai bukan cuma tukang print. Dia yang pegang semua data background check karyawan. Dia nggak perlu insecure. Justru orang-orang di sini yang perlu insecure dikit sama dia, Rinai udah lihat data kalian… siapa tahu salah ngomong malah ke-spill?”
Sasha dan Anya, yang tadinya siap menyambung sindiran Dina, langsung terdiam. Wajah Dina sedikit memucat. Mereka tahu, sebagai Admin Ops, Rinai memang memegang semua berkas operasional yang sensitif.
“Santai Mar, cuma bercanda kok,” kata Dina, berusaha mencairkan suasana. “Oh iya, Rinai. Tolong list lagi kebutuhan katering rapat direksi hari Rabu. Jangan sampai ada yang salah request dietnya. Kalau salah, yang kena bukan cuma kamu, tapi semua divisi HR.”
Rinai mengangguk.
Gini amat jadi budak korporat, kalau tahu begini mending aku dagang es teh pinggir jalan, dumalnya dalam hati.
Ia memang menangani rapat, katering, dan logistik. Itu adalah tugas yang paling sering dijadikan bahan lelucon. Padahal ia jadi punya catatan alergi para direksi dan jadi saksi betapa picky eater-nya para bos besar.
Perlindungan Mareta hanya datang sesekali karena ia berbeda divisi, dan tidak menghilangkan luka. Sindiran-sindiran itu tetap merayap di bawah kulitnya.
Ia menarik napas dalam. Kepercayaan dirinya terkikis, energinya terkuras habis bahkan sebelum pukul sembilan pagi. Damai adalah kata yang selalu ia impikan, namun di kantor ini, ia hanya menemukan perang dingin.
“Aku cuma berharap aku bisa kabur ke tempat yang nggak ada mereka,” bisik Rinai pada Mareta saat mereka menuju mesin kopi.
“Ya makanya, buruan pindah ke rumah barumu. Rumah gede di Jaksel itu harusnya jadi tempat kamu healing, jangan dibawa stres,” jawab Mareta.
Pernyataan Mareta menyadarkan Rinai. Hari ini ia harus pindah. “Bantuin ya, Mar?” pintanya.
“Pasti lah!” Mareta mengelus lengan sahabatnya. “Jam empat sore kita beresin ya!”
-oOo-
Begitu jam kantor menunjukkan pukul empat sore, Rinai bergerak cepat. Ia pamit dengan alasan ada urusan mendadak, mengabaikan tatapan sinis Anya. Mareta sudah menunggu di lobi.
“Oke, misi pindahan kilat kita mulai!” seru Mareta, yang sudah menyewa mobil pick up untuk membawa tiga tas besar, satu koper, dan dua kardus barang milik Rinai dari kos lamanya.
Proses pindahan selesai dalam waktu singkat. Begitu tiba di rumah yang kini telah bersih dan rapi jali, Rinai terperangah mengamati hasil kerja tim pembersih profesional.
Rumah itu kini terlihat seperti kanvas aesthetic yang siap diisi. Debu tebal telah hilang, lantai kayu mengilap, dan dinding-dinding kusam kini memancarkan aura vintage yang elegan. Ruangan terasa dingin, tetapi dinginnya kini lebih bersih, bukan lembab.
“Gokil! Ini kayak rumah di film-film yang punya banyak spot instagramable,” puji Mareta sambil mengeluarkan beberapa gulungan fairy light dari tasnya. “Untung perabotnya masih bisa dipakai semua,” katanya ketika menduduki sofa ruang tamu yang kini sudah tidak tertutup kain putih lagi. Sofa beludru itu berwarna hijau tua, memberi kesan mewah dan misterius.
“Tante bilang rumah ini pernah direnov sih enam tahun lalu. Mungkin saat itu perabotnya juga diperbarui ya,” ujar Rinai sambil membantu Mareta menguraikan kabel lampu.
“Aku rasa cuma diperbaiki itu, rangka kayu jati begini pasti kuat. Sayang dibuang. Lihat ini,” Mareta menunjuk meja makan kayu jati besar di dapur. “Ini meja makan impian semua orang. Perfect untuk dinner nanti.”