Rumah Bertuah

Siti Khodijah Lubis
Chapter #3

Mimpi Buruk

Pagi tiba, menyeret Rinai kembali ke habitat alaminya: kelelahan dan ketidaknyamanan. Lingkaran hitam di bawah matanya membuktikan rumah itu tidak memberinya kedamaian.

Rinai baru saja meletakkan tas lusuhnya. Belum sempat punggungnya menyentuh sandaran kursi, Dina sudah berdiri di samping meja.

“Rinai, coba lihat ini.” Dina meletakkan selembar print-out tebal. “Daftar absensi training kepatuhan. Aku yakin ada kesalahan input. Kamu kan admin yang paling teliti, seharusnya jangan ada masalah dong,” nada Dina manis, tapi matanya dingin.

Rinai menghela napas. Formulir ini sudah ia cek tiga kali semalam. “Input dari HR udah benar itu, Din.”

“Oh, ya? Aku nggak mau ambil risiko. Kalau sampai laporan ini cacat di meja Head Compliance kita, yang kena getahnya HR. Jadi, please,” Dina menekankan kata “please” dengan ekspresi yang terasa seperti perintah, lalu berlalu seolah baru saja mengomando office boy.

Rinai merasakan darahnya mendidih, tetapi ia memilih diam. Kelelahan akibat teror dan mimpi buruk membuatnya terlalu lemah untuk berargumen.

Saat jam istirahat, Rinai menarik Mareta ke sudut pantry.

“Mareta, aku nggak bisa tidur nyenyak. Rumah itu aneh banget, aku sering lihat penampakan sekilas. Semalam pun aku mimpi serem banget!” Rinai meremas lengan bajunya.

Mareta menatapnya, terlihat gurat kecemasan di wajahnya. “Mungkin kamu cuma terlalu stres, Nai. Kamu di sini ditindas, wajar kalau jiwamu lelah. Atau mungkin… mereka cuma mau kenalan, sementara aja.”

Mareta menyeringai, meraih tangan Rinai, lalu menariknya ke mesin ATM.

“Mar, kita mau ngapain?”

Self-reward.” Mareta menekan tombol tarik tunai. “Dengar, uang yang kamu irit mati-matian itu, pakai buat senengin diri sendiri. Biar bayangan horor itu kabur karena kamu terlalu bahagia. Jangan kikir sama diri sendiri.”

Rinai menggeleng. Air mukanya menunjukkan keengganan yang mendalam. “Aku yatim piatu, Mar. Aku harus nabung buat masa depan, buat jaga-jaga kalau sakit atau suatu saat aku nikah. Aku nggak mau ngerepotin Tante Rika atau siapa pun.”

Mareta memutar bola mata, jelas tak setuju dengan pemikiran Rinai.

Hello? Nikah itu urusan cowok, bestie! Kamu itu perempuan, tugas kamu cari cowok yang mapan dan paham tanggung jawabnya. Kalau nggak siap nanggung biaya nikah dan hidup kamu, blacklist! Kamu fokus healing dan cari kedamaian. Jangan takut nikmatin hidup.”

Kata-kata Mareta mendobrak pertahanan logika Rinai. Mungkin Mareta benar. Ia terlalu kaku, terlalu takut. Ia membutuhkan tempat yang damai untuk kembali bernapas.

 

-oOo-

 

Jam kantor berakhir, Rinai segera melarikan diri. Membayangkan kesunyian rumahnya membuatnya enggan pulang. Ia lebih memilih ke tempat yang ramai, meski ia harus melawan prinsip hematnya.

Ia menemukan kafe tersembunyi dengan dekorasi ramah lingkungan, penuh tanaman menghijau. Kontras dengan kantornya yang berbau toxic dan penuh print-out kertas. Rinai merasa di sini paru-parunya bisa sedikit lega.

Earth Green,” ia membaca nama kafenya, kemudian memantapkan diri untuk masuk. Ia langsung terpikat pada etalasenya. Cromboloni renyah, red velvet yang lembut, éclaire, cheesecake, semua tersusun rapi seolah baru keluar dari dapur pastry premium.

Aku harus sering ke sini, mau coba semuanya, janji Rinai dalam hati.

Saat mengantre, ia melihat seorang pria di depannya menyelesaikan pembayaran dan melangkah ke meja sudut. Rinai maju, tetapi matanya menangkap sesuatu di meja kasir. Dompet kulit cokelat.

“Permisi, Mas! Dompetnya ketinggalan!” seru Rinai, bergegas mengejar pria itu, meninggalkan pesanannya di meja kasir.

Pria itu mendongak dari balik laptopnya. Ia memiliki garis wajah tegas dan tatapan yang agak waspada.

“Astaga, terima kasih banget,” raut wajahnya berubah lega. “You've saved my life!”

Rinai tersenyum, sedikit terpana dengan ketampanan pria di depannya yang tampaknya sebaya.

“Aku Vin, kamu?” ucap pria itu sambil mengulurkan tangan.

“Rinai,” balas Rinai, menjabat tangannya.

Vin tersenyum tipis. “My savior. Mau duduk bareng?”

Lihat selengkapnya