Pukul dua belas siang, suasana di kantor terasa tegang. Rinai duduk di mejanya, berusaha fokus pada tumpukan berkas, sementara di lantai atas rapat Direksi berlangsung. Ia yakin urusan katering akan berjalan lancar berkat inisiatif Dina.
Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan keras. Kepala Divisi HR, Bapak Wira, muncul dengan wajah merah padam dan tatapan menyala.
“Rinai! Ikut saya sekarang!” suaranya menggelegar.
Rinai tersentak. Ia mengikuti Bapak Wira ke ruangannya, melewati tatapan penuh minat dan senyum tipis dari Dina dan Anya.
“Apa yang kamu masukkan ke dalam list request katering untuk Direksi?!” bentak Bapak Wira begitu pintu tertutup.
Rinai terkejut. “Saya… memasukkan list sesuai permintaan, Pak. Semua alergen, timun, udang, kacang, sudah saya coret.”
“Sesuai apanya? Direktur Marketing, Bapak Kusuma, tadi alami alergi sesudah makan mini burger, di dalamnya ada timun! Untung hanya gatal-gatal, tidak sampai anafilaksis. Ini mencoreng reputasi Divisi HR di hadapan Direksi!”
Rinai tercekat. Timun adalah alergen terberat Pak Kusuma, dan Rinai selalu memastikan timun adalah blacklist teratas. “Saya nggak salah catat kok, Pak. List itu kan Dina yang kirim pagi ini?”
Bapak Wira beralih menatap Dina, yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu, tampak khawatir.
“Dina, apa kamu sudah kirim list yang benar ke pihak katering?” tanya pria paruh baya itu.
Dina memasang wajah polos, seakan tak mengerti apa yang terjadi. “Pak, saya mana berani ambil alih tugas official Rinai? Buat apa? Itu kan biasanya tugas dia.”
Bapak Wira kembali menatap Rinai dengan tatapan menghakimi. “Rinai, jangan cari alasan! Kamu teledor. Kami percayakan urusan penting ini, dan kamu gagal. Saya nggak peduli kamu sibuk atau lupa. Kamu sebagai Admin Support seharusnya bertanggung jawab penuh!”
Rinai berusaha menjelaskan lagi, tapi suaranya terdengar sia-sia. Kekuatan argumen Dina yang menyangkal lebih dipercaya. Rinai melewati sisa hari itu dengan murung. Rasanya seperti seluruh kantor menudingnya.
Saat jam makan siang, Rinai naik ke atap. Mareta sedang ada urusan klien, tak bisa mendampinginya. Ia sendirian, makan sambil menahan isak yang membuat tenggorokannya tercekat. Selain Mareta, ia tidak memiliki tempat bersandar di kantor ini yang bisa membelanya.
-oOo-
Rinai memutuskan untuk langsung menuju kafe Earth Green sepulang kantor dan duduk di meja yang sama dengan kemarin. Ia memesan kopi termahal dan mengabaikan rasa bersalah karena menggunakan uang tabungan.
Wajahnya murung dan matanya sembap. Ia menatap ke luar jendela, pikirannya kosong.
Tak lama kemudian, sebuah cangkir kopi diletakkan di depannya. Vin berdiri di samping mejanya.
“Hai. Boleh aku duduk di sini?” tanya Vin. Tanpa menunggu jawaban, pemuda itu sudah duduk di hadapannya, menatapnya serius. “Kamu kelihatan kacau. Lagi ada masalah ya? Cerita aja.”
Hanya dengan satu kalimat lembut Vin, pertahanan Rinai runtuh. Ia mulai bercerita, air mata menggenang lagi. Vin mendengarkan dengan sabar, sesekali mengangguk.
“Aku kesal, Vin. Bisa-bisanya dia manfaatin kelengahanku. Kerjaanku berantakan, rapat direksi lebih parah. Direktur alerginya kumat. Atasanku nggak percaya kalau Dina nipu aku. Aku nggak tahu harus gimana lagi!”
“Oh… jadi kamu Admin Operasional HR di Arkana Digital Finance,” gumam Vin. “Kamu memang ada salahnya, tapi lebih parah lagi si Dina itu, pakai workplace sabotage. Ini bukan murni salah kamu, Nai.”
Pengakuan Vin bahwa itu bukan salahnya terasa melegakan. Rinai kemudian menyuarakan penyebabnya. “Aku lupa karena pikiranku terpecah, Vin. Aku baru tiga hari pindahan. Rumah baruku itu janggal, ada penunggunya. Tiap malam mereka ganggu aku. Bahkan saat tidur pun mereka nggak membiarkan aku tenang,” keluhnya. “Mana sahabatku lagi sibuk sama klien.”