Rinai duduk di sudut kafe Earth Green sore itu. Meja yang biasanya terasa akrab kini justru tampak terlalu luas. Ia mengaduk-aduk dessert-nya pelan, sendoknya berbunyi mengetuk-ngetuk kecil di piring. Setiap kali pintu kafe terbuka, ia otomatis melongok. Refleks, sedikit berharap Vin muncul. Padahal ia tahu Vin sedang sibuk.
Setengah jam berlalu, lalu satu jam. Pesan terakhir Vin kemarin berbunyi: “Sorry, kayaknya belakangan ini aku bakal sibuk. Jadi nggak bisa ke kafe dulu.”
Ringkas, datar, jauh lebih formal daripada biasanya.
Rinai mengembuskan napas, senyum kecil ditarik paksa. “Ya udahlah. Baru kenal juga. Jangan berharap banyak,” gumamnya sambil menghabiskan suapan terakhir. Ia tetap menghabiskan dessert-nya, seperti penghargaan kecil untuk dirinya sendiri. Tidak ada yang datang, tapi ia tidak pula dirugikan.
Ia bangkit, merapikan tasnya, dan pulang dengan langkah pelan.
Di tempat lain, Vin menatap layar ponselnya sudah lima menit. Pesan Rinai yang dibalasnya singkat masih bertengger di atas, tampak terlalu dingin dibanding obrolan mereka saat di kafe maupun di mobil.
Ia mengusap wajah, menyandarkan diri ke sandaran kursi kerjanya. “Maaf ya, Rin. Aku harus jaga jarak dulu,” bisiknya, lebih ke dirinya sendiri.
Ia bukan tidak mau datang. Justru sebaliknya, Rinai menarik, dan itu yang berbahaya. Kafe itu terlalu dekat dengan kantor, ia khawatir keakraban mereka terlihat dan menimbulkan asumsi negatif, terutama setelah kasus kemarin.
Vin menatap layar lagi. Jemarinya seperti ingin mengetik sesuatu, lalu urung. Kalimatnya selalu berhenti di kepala: “Jangan salah paham. Aku bukan mau menjauh dari kamu.”
Tapi tidak mungkin ia kirim itu tanpa membuat semua semakin rumit. Rinai bahkan tidak tahu posisinya di kantor itu sebagai Head Compliance, belum saatnya.
Ia mengunci ponsel dan menarik napas panjang. Bersiap untuk menyetir mobilnya pulang.
“Semoga dia nggak kecewa,” gumamnya.
Di sudut layar, pesan terakhir dari Rinai hanya berbunyi, “Oke, semangat kerja ya.”
Ringan. Wajar. Seolah-olah ia tidak benar-benar peduli.
Vin tersenyum kecil, lega sekaligus sedikit sesak.
“Semoga kamu mengerti,” gumamnya.
-oOo-
Rinai pulang dengan langkah lebih ringan dari biasanya. Di dalam kepalanya masih ada percikan optimisme kecil, karena besok ia akan pindah ke divisi baru. Mungkin hidupnya akhirnya berhenti meninjunya bertubi-tubi. Ia masuk rumah sambil menghela napas lega, menyalakan lampu ruang tengah.
Baru dua detik,
BRAK!
Pintu di belakangnya menutup sendiri dengan suara kencang. Ia hanya berkedip.
“Santai dong! Jangan mulai lagi deh,” gumamnya, terkejut.
Tirai di dekat jendela melambai pelan, seolah ada tangan tak terlihat yang memainkan kainnya. Padahal udara diam, AC bahkan belum dinyalakan. Tapi pikiran Rinai disibukkan dengan Vin yang tak datang lagi ke kafe.
Apa dia menjauh? Aku bikin ilfeel kali ya? pikirnya khawatir.
Lalu terdengar suara langkah. Seperti ada yang berlari-lari kecil di lantai.
“Tap tap tap!”
Rinai mengerjap. “Serius? Aku baru pulang lho.”
Ia melangkah menuju dapur, dan tiba-tiba rambutnya disentuh dari belakang, cukup keras hingga kepalanya tersentak.
“Ya ampun… kenapa sih?” suaranya naik seperempat oktaf.
Belum sempat ia memprotes, ada tepukan dingin di bahunya. Seolah menguji seberapa jauh Rinai bisa tahan.