Lift berbunyi pelan. Rinai melangkah keluar, masih membawa sisa trauma dari divisi lama. Namun begitu ia menapaki lantai 18, ia tertegun. Ruangan terang, rapi, dan tenang. Hening yang menenangkan, bukan menegangkan. Terdengar suara ketikan keyboard dan tawa kecil dari ujung ruangan.
“Rinai, ya?”
Seorang perempuan berkerudung pastel melambai.
“Aku Nindi. Welcome!”
Rinai refleks mundur, otaknya terbiasa menyiapkan diri untuk dimarahi. Tapi senyum Nindi terlalu ramah untuk diwaspadai.
“Ini kubikel kamu ya. Eh ada titipan sedikit.”
Ia menunjuk sticky note kuning yang menempel di monitor.
“Welcome to Procurement Team!”
Benda kecil ini ternyata bisa menjadi pukulan lembut di hati. Mata Rinai memanas, menahan haru.
“Rinai?”dari arah pantry, seorang pria berperawakan rapi, Benua, mengangkat tangan sambil mendekat.
“Ayo mulai pelan-pelan. Tenang aja, saya jelasin step-nya satu-satu.”
Dan ia benar-benar melakukannya. Duduk di samping Rinai, bukan di seberang. Menjelaskan langkah demi langkah. Mengecek apakah Rinai sudah paham, bukan menunggunya membuat kesalahan. Nada suaranya stabil, sabar, tidak pernah naik.
Baru lima menit, muncul kepala Adela lewat dari balik partisi. “Mau kopi? Latte? Americano? Cappuccino? Di sini anggota baru harus minum enak.”
“Ehm… cappuccino,” jawab Rinai malu-malu.
“Duduk aja, aku bikinin.”
Beberapa menit kemudian, secangkir cappucino hangat mendarat di mejanya.
“Nih. Kalau kurang manis, bilang ya.”
“Terima kasih… banyak,” Rinai hampir berbisik, masih terkejut.
“Di sini prinsipnya, anggota baru harus disambut. Dikasih minum, makan, kehangatan.”
Rinai terkekeh pelan. “Kayak foster home ya.”
“Exactly!” Adela mengangguk.
Jam makan siang datang lebih cepat dari dugaan. Adela merangkul lengan Rinai,
“Ayo ikut makan bareng kita. Nanti aku kenalin ke tim.”
Rinai spontan gelagapan. “Eh, boleh gabung?”
Adela dan Nindi saling pandang, lalu tawa mereka meledak.
“Di sini nggak ada geng,” kata Nindi. “Siapa pun boleh gabung.”
Mereka turun bersama ke kantin sederhana yang sering dipenuhi tawa kecil pegawai. Di meja panjang, dua orang sudah menunggu. Diko, yang selalu membawa camilan, dan Selvi, pengoleksi playlist terbaik di kantor.
“Ini Kak Rinai. Baru pindah hari ini,” ujar Adela sambil memperkenalkan.
Percakapan mengalir ringan. Mereka bercanda soal aplikasi ojek yang sering salah alamat, membandingkan warung makan favorit, sampai debat sederhana apakah nasi uduk lebih enak dimakan pagi atau malam. Ketika Rinai izin untuk mengajak Mareta ikut serta, semua mengangguk.
“Nggak apa-apa, ajak aja teman kamu gabung sini.”
Rinai tersenyum, lega. Mareta tetap sahabat yang selalu ada, tapi di sini, di tim Procurement, Rinai menemukan lingkaran pertemanan baru. Tidak ada yang peduli latar belakang, jabatan, atau riwayatnya. Semua disatukan rasa lapar, obrolan, dan hidup.
Begitu kembali ke kantor setelah makan, suasana semakin hidup. Seorang staf datang membawa kardus camilan.
“Guys, gue bawa jajanan. Ambil ya!”
Bukan cuma meja sebelah yang datang mencomot. Satu ruangan meriah seperti pesta kecil.
Rinai refleks mundur, sungkan, tapi Diko langsung menarik dua pastel untuk diberi ke Rinai.
“Nih. Wajib cobain kalau mau dianggap anak Procurement.”
Rinai menerima, bingung antara ingin tertawa atau terharu.
Nindi menambahkan, “Prinsip di sini: kalau satu makan, semua makan.”
Gadis itu merasakan kehangatan yang menjalar sampai ke ujung jari. Rinai menggigit pastel hangat itu pelan. Rasanya biasa saja, tapi momen ini yang membuatnya luar biasa.
Menjelang sore, ketika suasana sudah sedikit sepi, Rinai menyentuh sticky note di mejanya.
“Welcome to Procurement Team!”
Ia menarik napas panjang. Perlahan-lahan pipinya menghangat. Bukan karena sedih, namun karena lega. Karena baru ini ia merasa aman.
Dalam kepalanya, kalimat-kalimat kecil bermunculan satu per satu, lirih.
Kerja bisa senyaman ini ya?
Apa memang begini seharusnya lingkungan kerja?