Rumah Bertuah

Serenarara
Chapter #8

Tidak Sendiri Lagi

Rinai baru sampai ke kantornya, bahkan baru memasuki pintu lobi yang berputar, ketika ia menangkap tatapan itu. Dua pasang mata yang ia kenal, Anya dan Sasha, berdiri di dekat resepsionis. Mulut mereka menekuk sinis, alis terangkat seperti menilai barang cacat.

“Eh, itu dia,” bisik Sasha, cukup keras untuk terdengar.

Anya menyeringai tipis. “Pede banget ya dia sekarang, mentang-mentang pindah divisi. Ngerasa lebih keren gitu, padahal culun juga.”

Rinai menegang seketika. Napasnya pendek. Lututnya lemas, memori dari lantai lama menubruk seperti gelombang dingin.

Tapi sebelum ia sempat mundur suara ringan memecah udara.

“Rinai! Pagi!”

Mareta muncul dari arah belakang dengan langkah cepat, wajahnya berseri begitu melihat Rinai. Ia langsung berdiri di sisi Rinai, berjarak setengah langkah dari Anya dan Sasha, seolah membuat benteng tak kasat mata.

Hanya selisih detik, Adela dan Nindi menyusul dari pintu masuk. “Baru datang juga?” tanya Adela sambil tersenyum besar. Nindi melirik sekilas ke arah Anya dan Sasha, kemudian kembali fokus pada Rinai.

“Yuk naik bareng,” ajak Nindi, sengaja berdiri di sisi lain Rinai. Bentuk perlindungan halus tapi jelas.

Sambil berjalan Adela mencondongkan tubuh sedikit. “Itu… dari divisi lama kamu ya?” suaranya rendah, hati-hati. Ia pernah mendengar gosip samar tentang penyebab Rinai dipindah divisi, bahwa ia diperlakukan buruk di HR, dan sekarang potongan-potongan cerita itu menunjukkan bukti langsung.

Rinai mengangguk kecil. “Iya.”

“Tenang, kita jagain kamu!” Adela menepuk lengannya lembut.

“Selama bareng kita, nggak akan ada yang berani ganggu kamu,” sambung Nindi dengan mantap.

Mareta ikut mengangguk bangga. “Seneng deh ketemu kalian. Aku Mareta, sahabatnya Rinai. Dari partnership,” ia menjabat tangan Adela dan Nindi, ekspresi lega terpancar jelas.

“Ohh, yang sering diceritain Rinai?” respon Adela ramah.

“Wah, cerita apa aja ini anak?” Mareta tertawa.

Rinai berdiri di tengah mereka, suara lobi memudar seperti tenggelam di balik dinding kaca. Selama ini ia selalu datang ke kantor sendiri, menghadapi tatapan miring seorang diri, menahan napas tanpa siapa pun.

Sekarang tidak.

Tiga orang berjalan di sisi kiri, kanan, dan belakangnya. Bukan untuk melindungi secara fisik, tapi cukup untuk membuatnya merasa aman.

Pintu lift terbuka. Adela menahan daun pintu, menunggu Rinai masuk duluan.

Untuk pertama kalinya sejak bekerja di gedung ini, Rinai melangkah ke dalam lift sambil tersenyum. Ia tidak sendiri lagi.

Ia dikelilingi orang-orang yang peduli. Dan itu lebih berarti daripada apa pun yang Anya dan Sasha bisa lakukan hari ini.

 

-oOo-

 

Begitu jam pulang mendekat, Adela mencondongkan badan ke meja Rinai. “Pulang bareng yuk. Kita mau makan soto Betawi di warung dekat sini. Enak banget.”

Nindi sudah siap dengan tasnya. “Ayo Rinai. Wajib coba.”

Rinai sempat ingin bilang mau ke kafe… tapi bayangan duduk sendirian di sana terasa berat. Ia tersenyum kecil. “Boleh, aku ajak Mareta ya?”

“Ajak aja!” sahut Adela.

Mereka turun bersama, rombongannya kini empat orang. Saat baru keluar gedung, ponsel Rinai berbunyi.

Vin: “Aku udah nggak sibuk. Mau ke kafe?”

Rinai terdiam sesaat. Ada sedetik rasa senang, tapi juga getir. Ia menarik napas, lalu membalas:

“Nggak bisa. Lagi mau makan bareng teman sedivisi.”

Pesan terkirim. Dadanya menegang sedikit, bukan karena marah, tapi karena tidak mau berharap seperti dulu.

“Rinaii, cepet!” panggil Mareta.

Ia menyimpan ponsel dan menyusul mereka. Langkahnya ringan.

Hari ini, ia tidak menunggu siapa pun. Hari ini ia memilih bersama orang-orang yang benar-benar ada untuknya.

 

-oOo-

 

Vin sempat mengira keputusannya menjaga jarak dengan Rinai secara fisik adalah langkah paling aman. Ia tidak ingin ada yang menuduhnya membela Rinai karena kedekatan pribadi.

Ini cuma sementara, semoga Rinai mengerti, pikirnya waktu itu.

Ia salah.

Pesan dari Vin kini sering tak dibalas. Kalaupun dibalas, seperlunya saja. Pendek, rapi, formal. Dulu Rinai suka menceritakan hal-hal kecil yang remeh. Sekarang, ruang obrolan mereka seperti kamar yang pintunya tak lagi dibuka.

Lihat selengkapnya