Rumah Bertuah

Serenarara
Chapter #10

Ketika Masa Lalu Menyentuh Bahaya

Tiga hari kemudian, Rinai mulai terbiasa dengan satu fakta aneh: rumahnya kini lebih ramai daripada kos mahasiswa saat musim skripsi.

Pagi itu papa duduk di ruang tengah, menonton berita pagi dengan serius, sesekali berkomentar, entah siapa yang menyalakan TV.

“Orang sekarang tega banget, masa tukang sayur dicopet. Jelas-jelas uangnya cuma buat lanjutin hidup. Kalau mau nyuri tuh dari pejabat korup, uangnya banyak!” gumamnya, menggeleng pelan.

Di sisi lain, Mima duduk sambil mengutak-atik ponsel Rinai di meja makan. Ia bilang sih main game. Tapi dari caranya buru-buru menutupi setiap Rinai melirik, hanya Tuhan dan Mima yang tahu apa yang sebenarnya ia lakukan.

Jevian lebih menyebalkan. Ia berdiri di rak buku Rinai, satu per satu menarik novel keluar.

“Romantis lagi. Ini juga. Ini juga,” komentarnya datar. “Kamu doyan banget ya kisah cinta menye-menye penuh dramatisasi salah paham?”

“Balikin!” Rinai mendengus. “Kalau nggak suka, nggak usah baca.”

“Selera kamu butuh pertolongan,” balas Jevian santai.

 

Di dapur, Mami muncul dengan wajah memelas. “Nai, kapan Mami boleh pinjam badan kamu? Kulkasnya sedih banget, kosong. Mami pengin ke pasar.”

“Nanti ya, Mi,” jawab Rinai sambil mengenakan sepatu. “Kalau giliran Mami temenin aku kerja, pulangnya boleh belanja bareng. Tapi jangan rasukin aku.”

Hari ini giliran Papa ikut ke kantor, sosok kaku yang belum terlalu membuka diri ke Rinai. Itu yang membuat Rinai gugup. Ia tak benar-benar paham kenapa keluarga ini begitu bersemangat ikut kemana pun ia pergi, Tapi ia menenangkan diri, mungkin mereka hanya bosan. Terlalu lama terkurung.

Belum sempat melangkah keluar rumah.

“PAKEET!”

Satu kotak diterima, disusul kotak lain, dan yang lain lagi.

Rinai terdiam ketika kurir menyerahkan beberapa paket sekaligus, menunggu pembayaran COD dengan nominal yang membuat kelopak matanya berkedut. Ia melirik ke dalam rumah dan berteriak. “MIMAAA!”

Paket dibuka. Isinya… bagus. Terlalu bagus. Blus kerja rapi, rok berpotongan elegan, terusan halter neck berkelas, sepatu berhak yang tampak mahal dan manis.

“Mima,” Rinai menatap hantu remaja itu, curiga. “Kamu ngapain pesan baju dan sepatu fancy gini? Ini sih setelan sekretaris.”

“Terus kenapa?” Mima menjawab polos. “Yang penting rapi, cantik. Mau saingin CEO juga nggak apa-apa, kan nggak ngerepotin siapa-siapa. Terus Kak, makeup-nya juga yang niat dong. Masa cuma bedak, alis, sama lipstick. Nanti aku pesenin yang proper-”

“Mima!” Rinai menunjuk paket-paket itu, setengah putus asa.

“Iya, maaf…” Mima menunduk, lalu menambahkan cepat, “tapi kalau aku izin dulu, boleh kan?”

Jevian muncul dan langsung menjewer adiknya. “Minta maaf ya minta maaf aja. Jangan pakai embel-embel,” katanya sambil menyeret Mima pergi.

Rinai mengacungkan jempol ke arah Jevian, merasa tertolong.

“Aww, sakit! Tapi nanti dipakai ya, Kak! Janji!” teriak Mima sebelum menghilang.

Rinai menghela napas panjang. Sepertinya semenjak hari ini hidupnya tidak akan bisa normal lagi.

 

-oOo-

 

Peron MRT masih ramai ketika Papa berdiri di samping Rinai, tangannya terlipat di depan dada. Tatapannya tajam, seperti sedang menilai dunia yang sudah lama ia tinggalkan.

“Kenapa kamu tinggal sendiri?” tanyanya tiba-tiba. “Orang tuamu ke mana?”

Rinai terdiam sesaat, memasang headset, lalu menjawab pelan. “Aku udah nggak punya orang tua sejak SD. Aku dibesarkan Tante, tapi Tante Rika sekarang udah berkeluarga, dan aku juga udah bisa kerja sendiri. Jadi… aku nggak mau bergantung lagi.”

Papa mengangguk-angguk. Tidak ada iba di wajahnya, justru tampak rasa hormat. Anak ini tangguh, pikirnya.

Di dalam MRT, suara rel mengiringi percakapan mereka.

“Katanya kamu sebelumnya ditindas rekan kerja?” lanjut Papa. “Memang kerja di bagian apa?”

“Sebelumnya di HR. Admin operasional.”

“Bagus itu,” Papa menoleh. “Sering pegang data rahasia pegawai dong. Kok bisa-bisanya ditekan? Kamu tinggal tekan balik pakai kelemahan mereka.”

Rinai tersenyum tipis. “Mungkin karena aku nggak berani melawan. Tepatnya… aku malas ribut. Takut aku malah disalahin.”

“Jadi serba salah ya?” Papa manggut-manggut lagi.

Tak terasa mereka turun dan berjalan menuju gedung Arkana Digital Finance.

 

 Baru beberapa langkah memasuki lobi, langkah Papa mendadak terhenti.

Dunia seolah mengecil di satu titik.

Di antara lalu-lalang orang-orang bersetelan rapi, ada seorang pemuda berjalan sambil berbincang dengan rekannya. Jasnya pas di badan, rambutnya tertata, wajahnya hidup, tersenyum lebar saat menanggapi sesuatu. Senyum orang yang mengerti apa yang ia kerjakan. Sosoknya gagah, percaya diri, utuh.

Papa tercekat. Dada yang tak lagi berdenyut itu terasa sesak, seolah diremas dari dalam.

Lihat selengkapnya