Rumah Bertuah

Serenarara
Chapter #11

Tak Masalah Menangis

Pagi itu Rinai nyaris tak mengenali pantulan dirinya sendiri di cermin kamar.

Mami berdiri di belakangnya, merapikan kerah blus satin berwarna powder pink dengan gerakan lembut, seolah menyentuh sesuatu yang rapuh tapi berharga. Mima duduk di tepi ranjang, menyilangkan kaki, matanya awas menilai dari ujung rambut sampai sepatu.

“Jangan bungkuk,” tegur Mami pelan. “Kalau berdiri tegak, bajunya jatuhnya bagus.”

Rinai menelan ludah. Rok khaki berpotongan rapi membingkai kakinya, sepatu baru berwarna cream terasa kaku tapi kokoh. Tas kerja khaki yang serasi tergantung di lengannya, menggantikan tas belel yang biasa ia pakai dan sekarang dipensiunkan. Wajahnya pun dipulas tipis, bedak lebih rapi, alis tegas tapi lembut, gincu warna natural, sedikit warna di kelopak mata dan pemerah pipi yang membuat wajahnya tampak segar.

Ini… aku? pikirannya berdesir aneh.

Cantik, tapi juga asing. Seperti mengenakan versi dirinya yang belum pernah ia temui.

“Kalau begini, orang nggak bakal berani remehin kamu,” kata Mima puas. “Minimal mikir dua kali.”

Rinai tersenyum kecil, canggung. Bukan karena tidak suka, justru karena takut terlalu berharap.

Saat ia melangkah keluar kamar, Jevian yang bersandar di dekat rak buku mendadak berhenti bergerak. Tatapannya tertahan di Rinai. Tidak berkomentar maupun meledek. Hanya diam yang terlalu lama untuk sekadar kebetulan.

Untuk sesaat, Rinai merasa dilihat, bukan dinilai.

Mami yang menyadari kebekuan itu menepuk bahu putranya pelan. Sekali, cukup untuk menyadarkannya.

“Ayo,” kata Mami ringan, seolah tak terjadi apa-apa. “Nanti Rinai keburu telat.”

Rinai menarik napas, menguatkan diri.

Kalau dunia memang menilai dari tampilan, maka hari ini ia siap turun ke medan dengan baju perang baru. Dan entah mengapa, ada harapan kecil yang berani tumbuh di dadanya. Mungkin kali ini… hidupku akan benar-benar berbeda.

 

-oOo-

 

Vin menatap layar laptopnya terlalu lama tanpa membaca apa pun. Ia tidak fokus kerja, pikirannya dipenuhi bayangan seorang perempuan yang pernah duduk di hadapannya, tersenyum kikuk sambil memeluk cangkir.

Rinai.

Jarinya berhenti di atas ponsel. Ia sudah mengetik pesan itu tiga kali, menghapusnya tiga kali. Pesan yang terlalu santai, terlalu formal, atau terlalu berharap.

Akhirnya ia menulis pesan sederhana.

“Sepulang kerja, bisa kita ketemu di kafe?”

Pesan terkirim.

Vin menahan napas. Layar sunyi beberapa detik yang terasa terlalu panjang. Lalu muncul satu balasan. “Iya, bisa.

Dadanya mengendur. Lega datang lebih dulu, disusul takut yang menyelinap pelan. Takut ia kembali salah langkah, lalu gadis itu menjauh lagi.

 

-oOo-

 

Begitu Rinai melangkah ke lantai divisinya, ia langsung merasakan perubahan. Bukan sorakan, bukan pujian terang-terangan. Hanya lirikan yang sedikit lebih lama. Senyum kecil. Adela yang berhenti di samping mejanya, menatap sekilas sebelum berkata ringan. “Hari ini kamu kelihatan beda, Nai.”

“Lebih cantik,” tambah Nindi sambil tersenyum.

Rinai hanya tertawa kecil, menyibukkan diri menyalakan komputer. Ia duduk lebih tegak, tanpa sadar. Seperti pakaian itu ikut menyadarkannya cara bersikap.

Di sampingnya, Mima tersenyum lebar. “Tuh kan,” bisiknya. “Aura orang yang mau diajak ngopi cowok.”

Rinai melirik ponsel. Notifikasi Vin masih terbuka. “Iya, bisa.”

Dua kata, tapi menyebabkan jantungnya berdebar lincah.

“Ciee!” Mima menyenggol bahunya. “Nge-date.”

“Cuma temen,” Rinai mengingatkan, tapi senyumnya lolos.

Tak lama kemudian, senyum Mima meredup. Sejenak ia teringat misi pencarian adiknya. Tatapannya beralih, menembus ruang. “Aku keliling sebentar ya.”

Tanpa menunggu jawaban, Mima melangkah ke lift. Lantai demi lantai ia susuri. Lorong-lorong panjang, ruang rapat, meja-meja penuh wajah asing. Setiap kali ada siluet tinggi atau garis rahang yang terasa familiar, harapan muncul, lalu runtuh. Lagi, dan lagi.

Saat menjelang sore, Mima kembali ke Rinai dengan senyum dipaksakan. “Yuk pulang. Jangan telat ke kafe.”

Rinai mengangguk, tak menyadari getar halus di udara. Seperti ketenangan sebelum sesuatu berubah arah.

 

Lihat selengkapnya