Rumah Bertuah

Serenarara
Chapter #12

Yang Tak Pernah Dikatakan

Pagi harinya Rinai mengompres mata yang sembab dengan air hangat, sesuai saran Mima. Uap tipis dari balik waslap menenangkan kulit dan pikirannya sekaligus. Ia menatap bayangannya di cermin, matanya masih menyimpan jejak tangisan semalam, tapi tidak lagi bengkak. Masih bisa disamarkan, pikirnya.

Ia bersiap lebih manis dari biasanya. Terusan halter neck warna lime jatuh pas di tubuhnya, profesional tanpa kehilangan kesan hangat. Sepatu krem yang semalam dibersihkan kini berkilau. Saat berpamitan, Mami sudah siap menemaninya, membawa catatan belanja bulanan di kertas gaib, muncul begitu saja di genggaman. Rencana pulang kerja untuk belanja bersama terasa asing bagi Rinai. Rutinitas teratur itu bukan hal yang ia kenal sebelumnya, namun justru karena itu ia menantikannya.

Di lantai divisi Procurement, Mami pamit. “Mami keliling dulu ya,” katanya ringan, alasan yang juga biasa dikeluarkan anggota keluarga lainnya. Rinai tak mengerti tujuannya, tapi mengangguk, lalu masuk ke ruang kerja.

Belum ada yang tahu kejadian kemarin, tapi mata sembabnya tak luput dari perhatian. Adela dan Nindi bertanya dengan nada khawatir. Rinai menceritakan singkat. Cukup, wajah-wajah itu langsung mengeras, menahan geram. Tepat saat itu, seorang staf paling eksis datang membawa kabar: HC sedang menyidang dua pelaku perundungan, Anya dan Sasha, lengkap dengan bukti.

Rinai tertegun, padahal hari masih pagi. Dari mana Compliance tahu kejadian kemarin? pikirnya.

Rasa penasaran menarik langkahnya ke lantai rapat, ditemani Adela. Di balik pintu ruang rapat, ia menunggu. Rapat selesai, Sasha dan Anya keluar dengan kepala tertunduk. Lalu Vin muncul.

Pandangan mereka bertemu, sama-sama terkejut. Sebelum Rinai sempat bernapas, Adela berbisik, “Kenapa kaget? Itu Head Compliance kita, Pak Vin.”

Dunia terasa bergeser. Potongan-potongan yang tercecer mendadak menyatu, menjadi masuk akal. Cepatnya penanganan setelah Rinai membagi kisahnya dengan Vin, investigasi rapi yang dilakukan, jarak yang dijaga. Vin melangkah mendekat untuk menjelaskan. Rinai mundur, lalu berlari. Ia tak tahu bagaimana harus berdiri di depan seorang atasan yang selama ini ia anggap teman.

Dari kejauhan, Mami menyaksikan dan mengambil kesimpulan cepat.

“Oh ini cowok yang nggak peka itu,” gumamnya, kesal.

Ia menyusul, menenangkan Rinai dengan merangkul hangat. Adela mengiringi tanpa bertanya. Mereka kembali ke lantai 18.

Seharian Rinai bekerja dengan murung. Kata-kata penghibur dari Mami masuk ke telinga, namun keluar lagi. Di kepalanya, satu pertanyaan berputar: bagaimana harus bersikap di depan Vin?

Ya, Rinai memang diselamatkan dari para penindasnya dengan wewenang pria itu. Tapi terlalu banyak yang Rinai tidak mengerti tentang Vin, dan seolah tak mau ia bagi. Cara Vin yang terlalu strategis, rahasia yang terlalu banyak, dan empati yang datang belakangan membuatnya takut. Takut jika suatu hari ia butuh bahu, yang datang lagi-lagi hanya rencana.

 

-oOo-

 

Jam pulang kerja baru saja bergeser ketika pintu lift terbuka. Rinai melangkah keluar, dan langsung berhenti.

Vin berdiri tepat di depannya, seperti sengaja menunggu. Wajahnya tegang. Matanya fokus ke satu titik: Rinai.

Belum sempat Rinai berbalik, Vin sudah menangkap pergelangan tangannya cepat.

“Lepasin,” pinta Rinai pelan, tapi tegas.

“Nggak,” jawab Vin cepat. “Nanti kamu kabur lagi.”

Rinai menoleh ke sekitar. Beberapa orang melirik. “Malu dilihat orang.”

“Biarin.”

Ia ditarik masuk ke lift yang hampir tertutup. Rinai tidak melawan lebih jauh. Bukan karena setuju, tapi karena letih. Lift turun dalam diam yang kaku. Begitu sampai basement, Vin membawanya ke mobilnya dan membuka pintu penumpang.

Baru setelah pintu tertutup, Rinai bersuara. “Kenapa aku dibawa ke sini?”

“Aku mau jelasin,” kata Vin, menyalakan mesin dan AC.

Rinai memalingkan wajah ke jendela. Lagi-lagi penjelasan, pikirnya. Dadanya masih menyimpan sisa kesal.

“Maaf!” ucapan pertama Vin membuat Rinai tertegun. “Aku nggak berniat nyembunyiin apa pun. Aku cuma… takut kamu jadi segan kalau tahu posisiku. Aku pengin kita berteman santai, tanpa hirarki, tanpa jarak.”

Rinai menoleh. Ada kejujuran di sana. Sedikit rasa bersalah pun menyusup.

“Dan soal kemarin,” Vin menarik napas. “Maaf. Otakku terbiasa nyusun strategi. Aku mikir terlalu jauh, sampai lupa perasaanmu. Harusnya aku tenangkan kamu dulu. Aku tahu kesalahanku fatal.”

Keheningan turun. Rinai menggenggam tasnya, pelan. Amarahnya melunak, berganti bingung.

“Kalau mau marah, silakan,” lanjut Vin. “Tapi jangan menjauh. Aku mau kita kayak dulu. Ngobrol santai, bercanda, ketawa. Bisa nggak… kita begitu lagi?”

Kata-kata itu terdengar masuk akal, melenakan. Sampai satu kalimat meluncur tanpa disaring.

“Aku kangen kamu.”

Vin sendiri tersentak, lalu tertawa gugup. Rinai justru semakin tegang. Jantungnya berisik.

Ini maksudnya apa? pikirnya. Kepalanya terlanjur melompat ke bayangan yang belum siap ia datangi.

Lihat selengkapnya