Semestinya Nitia segera kembali pulang. Bukankah multivitamin yang dibutuhkan putrinya sudah dibelinya di apotek ini. Namun, ia malah betah duduk di bangku yang tersedia di apotek, sembari mengobrol bareng Lis, teman lamanya yang kebetulan juga tengah membeli obat di sini.
Sampai setengah jam ia menghabiskan waktu di apotek ini, berbincang-bicang seputar nostalgia semasa sekolah dulu bareng Lis. Hingga suara sirene kemudian terdengar meraung-raung. Rupanya mobil damkar tengah melintas di jalan depan apotek.
Baik Nitia maupun Lis kompak terusik, juga dengan para pengunjung apotek lainnya. Raungan sirene yang terdengar terus bersahut-sahutan. Pun dengan mobil damkar yang hilir mudik melintas di depan apotek. Sepertinya musibah kebakaran yang terjadi di siang hari ini tidak bisa disebut ringan. Mereka berdua lantas bergegas ke luar apotek.
Ternyata sudah banyak orang-orang berkerumun di trotoar jalan. Semuanya kompak mendongakkan kepala masing-masing, dan menghadap ke arah timur, tepatnya mengarah pada satu menara apartemen yang tengah mengalami kebakaran hebat. Nyala api tampak berkobar-kobar dari lantai sepuluh ke atas. Demikian pula dengan asap tebal hitam yang membumbung ke langit.
Alangkah terperanjatnya Nitia. Tak salah lagi, menara apartemen yang terbakar itu tak lain apartemen yang dihuninya. Sedangkan siang ini putrinya tengah tertidur pulas di salah satu unit apartemen itu.
ooo
Hari masih terbilang pagi ketika pesawat yang ditumpangi Nitia lepas landas dari Bandara Sam Ratulangi. Ia memang tengah dalam perjalanan pulang dari Manado menuju Jakarta. Cuaca saat ini terbilang kurang bagus. Langit di atas sana senantiasa kelabu akibat mendung yang menyelimuti. Belum ditambah hujan yang turun tiada berhenti. Semenjak tadi malam Kota Manado terus-terusan diguyur hujan dengan intensitas kecil.
Meski duduk tepat di samping jendela pesawat, namun di sepanjang perjalanan Nitia lebih banyak merengut. Mentari yang enggan menampak cerah akibat cuaca buruk berdampak bagi bola matanya. Belum ditambah lapisan kabut yang menutupi pandangannya. Ia tak dapat menyaksikan lagi panorama indah perairan teluk Tomini dari jendela pesawat. Padahal Nitia sudah menantikannya sejak pesawat lepas landas.
Tahu-tahu bola matanya seperti merasakan kehadiran cahaya. Sumbernya berasal dari balik jendela pesawat. Sontak Nitia dibuat terkejut, mengingat dirinya yang tengah mengudara. Lekas ia menoleh ke jendela pesawat di samping tempat duduknya, selanjutnya terperangah.
Kiranya cahaya yang dirasakannya itu berasal dari dalam kabin pesawat lain, yang terbang sejajar dengan pesawat yang ditumpanginya. Hanya saja jaraknya terbilang dekat sekali. Mungkin cuma belasan meter saja.
“Itu pilot lagi sinting apa!” umpat Nitia. Menurutnya, ulah pilot pesawat di sebelahnya itu sangat membahayakan. Terbang sejajar dalam posisi berdekatan seperti sekarang ini berpotensi mencipta senggolan di udara.
Anehnya para penumpang lain tidak menampakkan keresahan macam dirinya. Tiada terdengar penumpang berteriak sebagai reaksi atas kehadiran pesawat lain yang terbang sejajar. Suasana dalam kabin pesawat terasa senyap, mungkin semua penumpang tengah ketiduran.
“Masih sih cuma aku doang yang lihat itu pesawat?” gumamnya. Karena hanya duduk sendirian tanpa teman sebangku, ia tak dapat menunjukkan kemunculan tiba-tiba sebuah pesawat pada penumpang terdekat.
Nitia sukar memastikan pesawat dari maskapai mana yang tiba-tiba muncul itu. Kabut serta curah hujan telah menghalangi pandangan matanya. Syukur, ternyata pesawat itu terus menjauh, bahkan menghilang dari pandangan matanya. Nitia boleh merasakan lega.
Selanjutnya ia malah didera kantuk. Bola matanya dirasakan berat sekali. Sukar menahan kelopak matanya mengatup ia lantas memilih tidur.