“Kalau sempat mampir dulu ke supermarket, beli biskuit!” pinta sang suami lewat jaringan pribadi. Nitia sendiri baru saja melangkah masuk ke dalam mal Kota Kasablanka.
“Lah, baru empat hari lalu Tia beli sekaleng biskuit, masa sudah habis lagi? Padahal di rumah yang makan cuma Mas Sena seorang.”
“Kalengnya aja yang gede, isinya cuma sedikit.”
“Mas Sena, ingat perutmu nanti makin melar! Sudah jangkung ditambah buncit lagi, makin susah kalau beli celana baru. Jangan kebanyakan ngemil!”
“Dijamin enggak bakalan melar deh, toh dua bulan ini aku rajin joging plus renang.”
Malas terus berdebat di ponsel, lebih-lebih dirinya tengah berjalan di lorong mal yang dipenuhi orang-orang berseliweran, Nitia lalu memilih memenuhi pesanan suaminya. Masuk ke dalam supermarket langkah kakinya langsung tertuju pada rak yang menjajakan makanan kaleng.
Sedang mencari-cari kaleng biskuit pesanan suaminya, bola matanya malah tertambat pada satu kaleng biskuit yang dipajang di rak. Kaleng biskuit legendaris, dikarenakan sempat menjadi aksesoris wajib di rumah-rumah yang merayakan hari Raya Idul Fitri. Sedari dirinya kecil dulu kaleng biskuit tersebut kurang begitu menarik atensinya. Berlainan dengan sekarang ini, entah kenapa dirinya merasa harus terpana menyaksikan kemasan kaleng biskuit tersebut.
“Apa mataku lagi bermasalah, atau produsernya sedang berinovasi baru dalam pemasaran?”
Layak Nitia mempertanyakan kemasan biskuit legendaris itu di rak supermarket. Seumur-umur jadi manusia, dirinya hanya tahu jika kemasan kaleng biskuit legendaris tersebut cuma menampilkan keluarga kecil, yang terdiri atas seorang ibu muda dengan dua anak laki-laki tanpa kehadiran sang ayah. Sampai empat dasawarsa konsumen banyak yang mempertanyakan, kemana perginya sang ayah hingga tak kunjung pulang juga.
Bandingan dengan kemasan yang tengah menarik perhatiannya ini. Sang ayah ternyata telah dihadirkan. Keluarga kecil itu kini telah lengkap sudah saat duduk bersama di meja. Mereka tampak tengah menikmati secangkir teh dan potongan biskuit.
“Kirain suaminya Bang Toyib yang enggak pulang-pulang, tahunya cuma Bang Mandor. Walau lama sibuk ngawasi proyek, tapi ujung-ujungnya tetap pulang juga ke rumah.”
Dari yang awalnya terpana Nitia lantas geli sendiri. Ia lalu berpendapat, pihak produser memang telah melakukan inovasi pada kemasan kaleng biskuit. Tujuannya, apalagi kalau bukan demi memikat calon konsumen.
Kendati merasa terpikat oleh kemasan baru kaleng biskuit legendaris tersebut, namun Nitia enggan untuk memasukkannya ke dalam keranjang dorong. Tetap ia hanya membeli sekaleng biskuit pesanan suaminya.
Keluar dari dalam supermarket, ia mendapati temannya yang bernama Lis tengah berjalan di koridor mal. Bila boleh memilih, Nitia sebenarnya lebih merasa tenteram andai Lis tak melihatnya. Bukan karena teman satu ini adalah pribadi menyebalkan, atau sosok membosankan sampai dirinya berpikir sebisa mungkin harus menghilang. Masalahnya Lis sangat doyan mengumbar waktu lewat obrolan.
Mungkin bila di waktu senggang kehadiran Lis akan sebanding dengan hiburan ringan. Harus diakuinya bila obrolan Lis sering terdengar asyik di telinga. Akan tetapi, saat ini durasi waktu senggangnya tengah relatif pendek. Setelah seharian berada di luar rumah, sore ini dirinya tengah ditunggu suami untuk secepatnya pulang ke rumah.
“Tiaaa ...!”
Apes! Belum juga Nitia hendak bersembunyi di dalam kerumunan para pengunjung mal, Lis keburu menemukan dirinya. Bahkan langkah kaki Lis gesit sekali dalam mendekati dirinya. Apa boleh buat, Nitia terpaksa harus merelakan tangannya ditarik Lis. Pun ketika Lis menyeretnya ke arah bangku kosong di dekat tangga berjalan, dirinya hanya dapat patuh saja.
Sepertinya Lis sudah tidak sabar untuk mengajaknya mengobrol. Begitu duduk di bangku, teman yang satu ini langsung membuka obrolan. “Tia, kamu harus konfirmasi, apa benar karya tulismu telah dimuat di Majalah Pandora edisi minggu ini?”
Kalau bukan Lis yang berbicara Nitia tentu akan bingung. Tulisan siapa yang dimuat? Dirinya? Bagaimana mungkin tulisannya dimuat media, sedangkan Nitia tak merasa sekalipun pernah mengirim naskah? Untungnya Nitia hafal watak teman satu ini, gemar memusingkan lawan bicara.
“Lis, obrolan itu diawali oleh basa-basi dulu, baru kemudian canda.”
“Siapa bercanda? Pasti kamu sudah baca majalahnya! Tia, kan rutin beli Majalah Pandora?”
“Belum sempat beli.”
“Pantas.”