Rumah Dalam Angan Perempuan

Yuisurma
Chapter #7

Kelanjutan Cerita

Seminggu Nitia dilanda penasaran. Selama itu pula Nitia kerap berhitung hari. Ingin rasanya selekas mungkin dia membaca kelanjutan dari cerita bersambung karya penulis bernama Nila. Jika sebelumnya ia meyakini Nila adalah penulis pendatang baru, lain dengan sekarang. Nitia menduga, Nila hanyalah sebuah nama pena dari sosok penulis yang misterius di matanya.

 Sampai-sampai Nitia menyempatkan waktu melakukan browsing di grup-grup penulis tanah air, termasuk menelusuri portal-portal kepenulisan daring. Tak ada satu pun penulis bernama Nila ditemukan di sana. Kalau pun nama Nila berhasil ditemukannya, namun selalu diikuti nama belakang.

 Dan ketika majalah yang tengah dinanti-nantikannya telah berada dalam genggamannya, jemarinya lalu sigap membuka lembar demi lembar halaman. Inilah kali pertama semenjak dirinya menyukai tulisan fiksi, ada detak jantung berlebih ketika hendak memulai membaca. Nitia berharap, cerita bersambung di Majalah Pandora ini murni sebuah karya fiksi. Sama sekali dirinya enggan berharap kebetulan menghampirinya lagi.

“Nila bukan nama penulis, tapi seorang cenayang!” serunya, usai membaca keseluruhan isi cerita bersambung episode kedua.

Mengulang episode sebelumnya, pengalaman masa lalunya kembali menjelma menjadi alur cerita. Apa boleh, Nitia harus menerima kenyataan yang membingungkannya. Seseorang telah mencatat secara detail sepak terjangnya di waktu lampau.

 Seperti satu kejadian yang pernah dialaminya. Si penulis lantas menggarapnya dalam satu adegan yang memancing senyum pembaca. Bagaimana dongkolnya Andini setelah jenuh menunggu kemunculan Teja di Stasiun Gambir. Sekoyong-koyong yang datang justru si Aku. Dengan enteng si Aku mengabarkan kalau Teja lupa menyimpan ponsel. Belum jua ditemukan sampai detik ini.

 Alur cerita yang menggunakan sudut pandang orang pertama ini lalu bertutur lagi. Dikatakan oleh si Aku kalau Teja tak dapat mengabarkan jika hari ini batal berangkat ke Yogyakarta. Agar biaya akomodasi tak terbuang percuma, si Aku mengaku diperintahkan Teja untuk menemani Andini pelesiran ke Yogyakarta. Padahal bagi Andini, dunia akan senantiasa damai sentosa tanpa kehadiran si Aku.

 Adegan lain yang menggugah kenangan Nitia akan perseteruannya dengan Alin, tertulis di paragraf bagian tengah cerita bersambung. Si penulis menggambarkan percekcokan antara Andini dan si Aku pada sebuah toko buka. Mereka berdua diceritakan saling tampar-tamparan. Walau kejadian aslinya tidak seheboh seperti yang digambarkan si penulis, namun adegan di toko buku itu lumayan menohok Nitia.

 Alur cerita bertambah menarik. Penyebabnya, si penulis mulai menambahkan konflik batin Teja ke dalam alur cerita. Teja sebenarnya telah menyadari, memang terdapat permusuhan antara Andini dengan anak kesayangan orangtua asuhnya. Sementara keduanya adalah perempuan-perempuan dalam lingkaran kasih sayangnya.

 Teja sendiri telah sering mendengar keluhan Andini akan kekurangajaran si Aku. Hanya saja dirinya tak punya daya untuk membela sang kekasih, bahkan untuk sekedar mengingatkan si Aku. Sedangkan si Aku sendiri hanya bisa gundah. Teja sama sekali tak bisa menangkap arti dari letupan kecemburuan si Aku.

 Lagi-lagi muncul hal yang mencengangkan Nitia. Satu adegan yang tercatat di buku diary miliknya kembali diungkap si penulis dengan terang benderang. Diceritakan ketika asa si Aku untuk beroleh cinta semakin menipis, datanglah dewa penolong yang tak lain ibu kandung Teja.

 Kepada si Aku, ibu kandung Teja berujar, “Tia, bibirmu boleh saja menyebut Teja, Kakak. Tapi, Ibu tahu kalau sinar matamu mengisyaratkan apa yang menjadi isi hatimu. Tia diam-diam jatuh cinta sama Teja, bukan?”

 Nitia sampai membandingkan kata-kata yang terucap ibu kandung Teja dalam cerbung, dengan kata-kata ibunda Senapati dulu. Kebetulan momen tersebut tercatat pula dalam buku diary miliknya. Hasilnya hanya semakin meneguhkan, bahwa cerita yang dia baca adalah karya penulis yang pandai menerawang.

 Sampai hari ini Nitia masih menganggap, kala itu sesosok Malaikat telah meminjamkan mata untuk ibunda Senapati. Hanya lewat bantuan mata Malaikat, ibunda Senapati mampu melihat jauh ke dalam relung hatinya. Siapa sangka ketika mulutnya kelewat kelu untuk mengungkap isi hati, ketika kedua orangtuanya abai akan perubahan perilakunya, dan ketika Senapati seakan tak mau tahu dengan segala bentuk kecemburuannya, perempuan yang kini telah menjadi ibu mertuanya itu tiba-tiba datang, dan menjadi pahlawan cintanya.

ooo

Lihat selengkapnya