Rumah Dalam Angan Perempuan

Yuisurma
Chapter #10

Dunia Paralel

Kembali menaiki pesawat usai mengunjungi kerabat di Manado, Nitia menemukan cuaca yang sangat bersahabat di sepanjang perjalanan pulang ke Jakarta. Langit hanya tahu membiru tanpa gumpalan awan sedikitpun.

Cerahnya mentari berakibat perairan Teluk Tomini di bawah sana terlihat jelas sekali. Sampai Nitia terpaku berlama-lama memandanginya dari jendela pesawat, terpesona oleh keindahaan lukisan alam bernama Teluk Tomini.

Sedang asyik menikmati cantiknya Teluk Tomini di bawah sana, sekoyong-koyong sebuah pesawat terbang menampak di jendela. Tentu saja Nitia terkejut karena menurutnya pesawat itu muncul begitu saja. Tidak terlalu jauh berjarak dengan pesawat yang ditumpanginya, namun tidak jua terlampau dekat. Pesawat itu hanya terbang sejajar saja, pun dengan ketinggian maupun kecepatan yang menurutnya sama dengan pesawat yang ditumpanginya.

Malah jika melihat warna hijau kekuning-kuningan yang melekat di bagian ekor, serta tulisan warna hijau di badan pesawat dipastikan pesawat yang cukup mengejutkannya itu berasal dari maskapai yang sama, Citilink. Dengan kata lain saat ini dua pesawat maskapai Citilink tengah terbang sejajar, dan menempuh penerbangan yang kemungkinan sama juga.

Kening Nitia serta-merta mengerut. Dua buah pesawat sipil sampai terbang sejajar saja sudah sangat langka ditemuinya. Lebih-lebih keduanya berasal dari maskapai penerbangan yang sama. Meski begitu ia tetap meyakini, pesawat yang tengah membingungkannya itu tidak lepas landas dari Bandara Sam Ratulangi Menado.

“Eh, bukannya dua bulan lalu aku juga nemu peristiwa macam gini, malah di atas Teluk Tomini juga kejadiannya?”

Kemunculan pesawat tak diduga-duga itu mampu memalingkan Nitia, khususnya dari memandangi keindahan perairan Teluk Tomini. Fokus perhatiannya kini tertuju pada pesawat yang tengah beriringan terbang dengan pesawat yang ditumpanginya.

“Kayaknya mulai menjauh itu pesawat.”

 Tak salah ia berpendapat seperti ini. Memang semakin lama ia memperhatikan ternyata pesawat itu semakin berjarak darinya. Ibarat kata sebuah sungai yang bercabang, masing-masing akan semakin merenggang seiring memanjangnya cabang sungai. Pun dengan pesawat itu yang sekarang sudah tampak semakin mengecil saja, lalu menghilang di kejauhan sana.

Karena obyek yang tengah diperhatikannya sudah tidak lagi menampak di jendela pesawat, Nitia kembali mengalihkan pandangannya ke panorama di bawah sana. Sayang, panorama indah perairan Teluk Tomini sudah tidak menampak lagi. Rupanya pesawat telah kembali terbang di atas daratan Pulau Sulawesi.

Bersamaan dengan bergantinya panorama di bawah sana, Nitia sudah tak lagi antusias memandangi jendela pesawat di samping tempat duduknya. Tangannya lalu merogoh ke dalam tas selempangnya. Sedari tadi tas itu hanya digeletakan di atas bangku kosong di sampingnya. Rupanya ia hendak memungut majalah yang disimpan dalam tas selempangnya.

Bukan majalah edisi terbaru, melainkan majalah yang terbit dua minggu lalu. Majalah Pandora yang memuat episode ketiga cerita bersambung karyanya. Sama sekali Nitia tak hendak kembali membaca cerita bersambung hasil karyanya sendiri. Ia hanya membaca beberapa artikel gaya hidup.

Meski sudah dua minggu dibelinya, namun masih banyak artikel-artikel yang belum sempat dibacanya. Kebetulan dalam dua minggu ini hari-harinya padat oleh kegiatan, termasuk di akhir pekan sekalipun. Karena merasa sayang jika artikel-artikel tersebut tak kunjung dibacanya, Nitia lalu membawanya ke Manado. Lucunya, selama di Manado ia tak jua berkesempatan membacanya hingga tuntas.

Baru setelah hampir satu jam membaca di pesawat, seluruh artikel di Majalah Pandora akhirnya tuntas dibacanya. Memasukkan kembali majalahnya ke dalam tas selempangnya tahu-tahu terdengar pengumuman dari awak kabin. Tak lama lagi pesawat akan mendarat di Bandara Sukarno-Hatta. Para penumpang diminta mengikatkan sabuk pengaman di badan, serta kembali menempati bangku masing-masing.

Selesai mengikatkan sabuk pengaman di badan, Nitia malah kembali menengok ke jendela pesawat di sampingnya, menyimak dengan seksama panorama di bawah sana. Cuaca yang masih cerah membantu matanya, untuk mendapati jika pesawat kiranya telah kembali terbang di atas perairan. Pesawat juga perlahan menurunkan ketinggian terbang.

“Kok bukan pantai selatan Pulau Jawa lagi?”

Masih mengingat jelas bagaimana terheran-herannya dirinya satu bulan lalu, tepatnya ketika pesawat asal Manado yang ditumpanginya mulai bersiap mendarat di Bandara Sukarno Hatta. Ia terkejut manakala panorama pantai selatan Jawa Barat menampak jelas di jendela pesawat. Lebih mencengangkan lagi ternyata pesawat yang ditumpanginya kala itu lalu terbang di atas daratan Sukabumi. Ia sampai melihat Gunung Salak yang dilintasi pesawat.

Lain dengan sekarang. Nitia meyakini jika panorama di bawah sana adalah perairan Teluk Jakarta, bukan perairan pantai selatan Jawa Barat lagi. Barusan ia melihat Pelabuhan Tanjung Priok, dan stadion JIS dari jendela pesawat.

Lihat selengkapnya