Rumah Dalam Angan Perempuan

Yuisurma
Chapter #12

Berjodoh

“Sekarang rumahnya telah resmi berpindah tangan ke Pak Sena,” ungkap Pak Darwis sembari menyerahkan akta jual beli (AJB). Seorang pegawai PPAT juga tampak mendampingi Pak Darwis.

Hari ini Senapati bersama istri diminta berkunjung ke kantor di mana Pak Darwis menjalankan bisnis. Rupanya Pak Darwis hendak memberitahukan dirinya, bahwa seorang petugas PPAT telah membawa AJB untuk diserahkan padanya. Minggu lalu salah satu rumah Pak Darwis telah dibelinya dengan harga selangit.

“Kita sekarang kemana, Mas?” tanya sang istri usai keluar dari kantor.

“Ya langsung ke rumah yang baru. Sekalian ngecek-ngecek kondisinya.”

Tiba di depan rumah yang baru saja dibelinya, Senapati tak lantas memasukan mobilnya ke pekarangan depan. Padahal rumah Pak Darwis sekarang telah resmi berpindah tangan. Malahan kuncinya telah lebih dulu diserahkan kepadanya lima hari lalu. Demikian halnya dengan gerbang masuk yang tengah membuka lebar. Macam hendak bertamu saja, Senapati justru memarkirkan mobilnya di depan pagar rumah.

Rupanya kehadiran seseorang di pekarangan depan rumah yang baru dibelinya, menjadi biang dirinya urung memasukkan mobilnya ke pekarangan depan. Seorang perempuan yang sepantaran dengan istrinya telah mendahuluinya datang kemari. Dipastikan perempuan itu bukan anggota keluarga Pak Darwis, karena dalam keseharian Pak Darwis sekeluarga jarang tinggal di sini.

Duduk di ayunan tali yang menggantung di dahan pohon mangga, perempuan itu terlihat tengah riang gembira. Layaknya bocoh, perempuan itu begitu menikmati sekali bermain ayunan. Mulutnya terus bersenandung, menyanyikan lagu anak-anak. Padahal dari segi usia dan penampilan jelas perempuan itu sudah dewasa sekali.

Hanya mengenakan daster, serta rambut yang seperti tak pernah disisir saking acak-acakannya, perempuan itu enggan acuh jika polahnya berpotensi menjadi tontonan. Apalagi tubuhnya tampak kumal, seperti empat hari belum mandi. Belum ditambah daster yang dikenakannya. Kendati masih terlihat baru, namun dasternya penuh dengan lumuran noda tanah.

“Kamu tunggu di mobil saja!” pinta Senapati pada istrinya. Lantas keluar dari dalam kabin mobilnya, untuk kemudian berjalan masuk ke dalam pekarangan rumah. Rupanya ia hendak menyambangi perempuan yang tak ingat usia dalam berperilaku itu.

“Kak Sena!”

Tetap selayaknya seorang bocah yang akhirnya melihat ibunya pulang, sedangkan seharian dirinya ditinggal sendirian di rumah, begitulah ekspresi perempuan itu sewaktu melihat kemunculan Senapati. Tak cuma berteriak kencang perempuan itu sampai meloncat dari ayunan yang didudukinya, lalu berlari menyongsong Senapati.

“Kak Sena pulaaang ....! Kak Sena pulaaang ...! Kak Sena pulaaang ...!”

Masih teriak-teriak dalam mengekspresikan kegembiraannya, perempuan itu langsung mendekap erat tubuh jangkung Senapati. Ia berani sekali menempelkan tubuhnya sedemikian rapat pada Senapati, seperti tengah gemas sekali. Padahal perempuan itu, sekali lagi sudah dewasa dari segi usia. Lebih-lebih lelaki yang dipeluknya tidak seorang diri, tetapi bersama istri yang tengah berada di dalam mobil.

Menariknya Senapati hanya membiarkan saja tubuhnya dipeluk perempuan itu. Sedangkan kedua tangan perempuan itu juga belepotan noda tanah. Ia pun enggan kesal, apalagi sampai marah-marah dipeluk perempuan itu. Senapati malah terkesan memaklumi.

“Tia, sudahan dulu ya meluknya!”

Setelah kurang satu menit lamanya membiarkan tubuhnya dipeluk, dengan halus Senapati kemudian meminta pada perempuan itu. Kedua tangannya berupaya menghalau tangan perempuan itu yang tengah mendekapnya, juga dengan cara halus.

“Kenapa sih sekarang Kak Sena enggak suka lagi dipeluk Tia. Padahal Tia, kan sayang sama Kak Sena?” omel perempuan itu usai Senapati melepaskan diri dari pelukannya.

“Tia, kan sekarang sudah dewasa, enggak pantas dong meluk-meluk Kakak?”

“Tapi, sama Alin, Kak Sena mau dipeluk-peluk, padahal Alin sudah dewasa juga.” Sembari merengut perempuan itu kembali mengomel, memprotes perlakuan Senapati yang menurutnya suka memilah-milah.

“Alin istri Kakak. Wajar dong kalau Kakak dipeluk, atau malah meluk Kak Alin.” Penuh kesabaran Senapati menjelaskan pada perempuan itu. Tiada menampak sedikitpun rasa kesal. Sedangkan tingkah perempuan itu padanya sudah masuk kategori menyebalkan.

“Bukan, bukan Alin yang jadi istri Kakak! Tia istri Kak Sena!” Sembari bersungut-sungut Nitia menyangkal keras. Ia seperti enggan menerima jika Senapati telah beristri Alin.

“Tia itu adik Kakak yang paling Kakak sayang!”

“Enggak mau, Tia enggak mau jadi adik Kak Sena! Dari dulu juga Tia istri Kakak!”

Tak dapat menerima penjelasan lelaki yang senantiasa menggemaskannya, perempuan itu lalu berbalik badan. Kemudian berlari menuju pekarangan samping rumah ini. Sewaktu berlari tangannya terlihat menyambar sekop mini buat berkebun yang menggeletak di rerumputan.

Sementara Senapati hanya menyaksikan saja bagaimana perempuan itu berlalu darinya. Namun, sorot bola matanya kentara mengisyaratkan keprihatinan mendalam. Hatinya memang senantiasa bersedih mendapati kemalangan perempuan itu, Padahal ia sudah menganggapnya sebagai adik kandung sendiri.

Perempuan yang perilakunya masih sangat kekanak-kanakan itu tak lain Nitia, anak semata wayang orangtua asuhnya. Tiada sekali-kalinya Senapati membayangkan, satu hari nanti Nitia akan menjalani garis hidup semalang ini. Padahal sebelumnya Nitia adalah perempuan normal sebagaimana umumnya, bekerja sebagai ASN, serta berstatus seorang istri dengan suami dan satu anak.

Bermula dari peristiwa kebakaran hebat di satu apartemen bersubsidi di Kalibata, sebelas penghuni aparteman dinyatakan tewas di tempat. Malangnya salah satu korban tak lain Dela, putri tunggal Nitia yang masih berusia balita. Kala musibah kebakaran terjadi Dela tengah tertidur lelap di kamar aparteman. Tiada seorang pun menemani, termasuk sang ibu yang apesnya justru sedang keluar sejenak untuk membeli vitamin di apotek.

Lihat selengkapnya