Rumah Di Atas Kuburan

Endah Puspitasari
Chapter #2

Tawaran Pekerjaan

"Kamu mau bekerja di rumah saya?"

Listy mengamati pria yang menawarkan pekerjaan padanya. Lagak orang itu boleh juga. Mentereng dari atas ke bawah. Walapun anak kampung, Listy tahu mana barang bermerek mana tidak. Itu karena dia sering cuci mata dengan berselancar di aplikasi belanja. Biar tak percuma program internet masuk desa. 

Coba merem dan bayangkan, seorang lelaki dengan jam tangan rolex, kaus hugo boss, celana jin yang meski tak Listy ketahui mereknya, tapi dari warnanya yang soft dan bukan pudar bisa diterka kalau itu celana mahal, sekarang menawarkan pekerjaan. Sudah membayangkan? Jangan lupa melek! 

Orang kampung mana yang tak tertarik? Dari tampilannya saja sudah di atas seratus juta, jelas gaji yang akan diberikan menjanjikan, bukan? Maka, Listy dengan malu-malu langsung menjawab. 

"Mau, Pak! Gaji buat saya berapa, Pak?" tanya gadis yang memiliki tinggi 160 sentimeter itu dengan semangat. 

Randi tertawa. Sudah biasa baginya menghadapi orang kampung mata duitan. Wajar saja. Di Kampung Terang ini penduduk hanya mengandalkan hasil penjualan kelapa. Masih bisa dimaklumi. Lah, pejabat di kota saja sudah banyak duit masih juga kurang. 

"Saya akan beri kamu gaji dua puluh juta setiap bulan."

Listy terbelalak. Dua puluh juta? Ya ampun! Seumur hidup dia bahkan belum pernah memegang uang seratus ribu. Bagaimana rupanya uang sebanyak itu? 

Debar jantung Listy meningkat drastis. Tak sabar rasanya ingin mulai kerja. Dengan uang dua puluh juta, itu artinya dia cukup bekerja selama satu bulan untuk membayar hutang ibunya, dan selebihnya digunakan untuk membeli barang-barang kesukaan. Pikiran Listy mau meledak saking banyaknya khayalan. 

"Tapi ... jadi, tugas anak saya apa, Pak?" 

Listy melirik wajah ibunya yang tertimbun keraguan, kegelisahan, dan kekhawatiran, yang menurutnya berlebihan. Lebai! Padahal ini juga demi menutupi hutang almarhum bapak yang sudah jatuh tempo. Untung ngutangnya sama Pak Randi yang baik hati.

"Tugas Listy memasak, membersihkan rumah, melayani istri saya, dan sesekali menjaga anak saya," jawab Pak Randi. 

"Kalau begitu saya saja yang kerja. Saya masih mampu."

Pak Randi tersenyum, sementara Listy merengus. Gadis itu rupanya memang sudah lama memendam keinginan merantau sejak tamat SMA, tapi belum kesampaian. Sekarang sudah ada momennya malah dihambat lagi. 

"Boleh saja, Bu Sukma. Asalkan Ibu bisa menggunakan ponsel pintar untuk membantu keperluan sehari-hari istri saya. Caca kadang minta dibuatkan masakan sesuai dengan resep di sini."

Pak Randi memperlihatkan benda segi empat dengan tampilan gambar masakan modern pada ibunya Ranti. 

Wanita berusia 48 tahun itu menelan ludah. Jangankan mengoperasikan benda itu, mencari siaran TV dengan remote saja dia masih kesusahan. 

Lihat selengkapnya