Hari ini, Februari 1990, aku bahagia bukan main. Hati seperti berbunga-bunga ketika mendengar kabar kalau aku diterima di perusahaan milik pemerintah.
Di tanganku, kini tergenggam surat panggilan wawancara. Aku tidak terlalu memikirkan di mana akan ditempatkan, yang pasti sebuah perkebunan karet telah menungguku.
Sudah setengah tahun lebih, aku bekerja sebagai sopir ambulans rumah sakit. Bukannya tidak bersyukur, tapi aku merasa gelar yang kuraih setelah lulus kuliah, kok, tampak tak berguna. Tapi, akhirnya aku berkesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Terlebih, pekerjaan ini sesuai dengan pendidikan yang telah kuselesaikan.
***
“Nanti, setelah bekerja, kamu harus hati-hati. Apalagi, di tengah hutan seperti itu. Itu perkebunan karet yang baru dibuka, kan? Jangan lupa, rangkul penduduk sekitar,” kata Kak Imron, kakak pertama.
Beliaulah yang telah banyak membantu biaya sekolah dan kuliahku. Beliau tinggal menetap di Cilegon. Aku tinggal di rumahnya ketika menunggu pengumuman tes masuk dan wawancara di perusahaan perkebunan itu.
Menurut surat, posisi yang akan kuemban adalah pengawas perkebunan. Nantinya, aku bakal mengawasi sekian ratus hektar perkebunan karet. Perkebunan yang baru saja diambil alih oleh pemerintah setelah sebelumnya terbengkalai di Lampung Selatan.