Langkah kaki pertama sudah jatuh di tanah Lampung Selatan, Sumatra. Aku sengaja naik bus malam agar dapat tidur sepanjang jalan. Tapi, perhitunganku agak meleset. Masih pagi buta, aku sampai di tujuan.
Berbekal alamat yang tertulis pada secarik kertas, aku akan datang menemui Rusli di rumahnya. Tapi, hari masih sangat gelap, aku tidak mungkin datang ke rumahnya saat ini juga.
Semilir angin menerpa wajah yang masih sangat mengantuk. Perjalanan panjang tadi membuat kualitas tidur menjadi buruk.
Kuperhatikan jalan sekitar. Tidak tampak ada masjid atau musala. Kususuri sebentar, sampai memasuki gang, berharap menemukan apa yang kucari. Benar saja, ada musala di situ.
Aku duduk di terasnya, mengeluarkan botol minum, menghela napas panjang, menunggu orang-orang sekitar untuk datang melaksanakan shalat.
***
“Mas, Mas, bangun, Mas.”
Ah, aku ketiduran di teras musala. Kuperhatikan sekitar, ternyata sudah ada beberapa orang yang bersiap untuk shalat.
“Iya, Pak, terima kasih. Maaf, saya ketiduran,” jawabku.
“Iya, enggak apa-apa. Silakan ambil wudhu dulu, sebentar lagi mulai.”
Lalu, aku bergegas ke belakang untuk mengambil air wudhu.
Sekitar lima belas orang, termasuk aku, yang berada di sana. Beberapa ada yang sedang duduk berzikir, beberapa lagi sedang melaksanakan shalat sunnah. Hingga akhirnya, salah satu orang berdiri dan mengumandangkan azan.
***
“Dari mana, Pak? Sepertinya dari jauh,” tanya salah seorang bapak ketika aku sedang duduk di teras sambil memakai sepatu.
“Saya datang dari Jawa, Pak. Ke sini akan bekerja di perkebunan karet. Katanya, enggak terlalu jauh dari sini, ya?”
“Oh, iya. Di sini memang ada perkebunan karet yang baru dibuka kembali. Diambil alih pemerintah.”
Setelah sepatuku terpasang, aku bangkit. Entah mau ke mana mengisi waktu matahari tinggi, dan siap bertamu ke rumah Pak Rusli.
“Eh, iya, Pak. Apa Bapak kenal dengan Pak Rusli?”
“Rusli yang mana, ya?”
Ah, aku sendiri tak tahu Pak Rusli itu yang mana.
“Tapi, tunggu sebentar. Di dalam ada seseorang yang namanya juga Rusli. Tuh, orangnya masih zikir di dalam,” kata bapak itu sambil menunjuk seseorang.
Kalau benar itu Pak Rusli yang kucari, ini akan menjadi kebetulan yang menyenangkan.
Tidak lama kemudian, seorang laki-laki berjalan mendekati kami. Dia tinggi besar dengan kumis hitam lebat. Dia tersenyum ramah.
“Pak, ini ada orang yang katanya akan bekerja di perkebunan karet,” kata si bapak.
Aku hanya tersenyum.
“Oh, begitu. Berarti, ini Pak Heri, ya? Saya Rusli. Kebetulan sekali.”
Dia memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.
“Alhamdulillah. Iya, Pak, saya Heri. Tadinya, mau langsung ke rumah Bapak, tapi urung karena masih terlalu pagi.”
“Kalau begitu, kita sambil jalan, Pak. Kita ngobrol di rumah,” begitu kata Pak Rusli.
Setelah berterima kasih kepada seorang bapak yang mempertemukan kami, aku langsung mengikuti Pak Rusli.
Selang beberapa menit, kami sampai di depan rumah yang lumayan besar. Rumah yang tidak terlalu jauh dari jalan utama lintas Sumatra.
“Nah, ini rumah saya, mari masuk.”
Di rumah itu, aku disambut oleh istri Pak Rusli yang ramah. Dia mempersilakanku duduk, menawarkan minuman, dan menyodorkan beberapa kue.
***
Di ruang tamu, aku dan Pak Rusli melanjutkan perbincangan.
Menurut beliau, perusahaan telah menghubunginya lewat surat yang baru sampai kemarin. Dalam surat itu dikatakan kalau aku akan tiba dua-tiga hari.
“Jadi, Pak, perkebunan tempat Pak Heri bekerja ini adalah perkebunan yang tadinya terbengkalai. Bertahun-tahun dibiarkan liar. Sampai akhirnya, pemerintah mengambil alih karena mereka yakin kalau perkebunan ini masih memiliki prospek yang bagus.”
Panjang lebar Pak Rusli menjelaskan perkebunan karet itu.
“Tapi, tenang saja, sudah tiga bulan ada pekerja yang mulai membersihkannya. Nanti, dia akan menjadi asisten Pak Heri. Namanya Wahyu.”
Istri Pak Rusli datang menghidangkan kopi. Aku langsung mencicipinya.