Rumah di Tengah Hutan

KH_Marpa
Chapter #1

"Keluarga Ernst"

Bagaimana bisa seorang istri tidak mau 'tunduk' kepada suami yang sungguh-sungguh mencintainya? Istri yang cenderung menjadi lawan ketimbang kawan dalam menyikapi pendapat atau ide yang dilontarkan oleh suaminya.

Ernst masih belum mengerti, apa gerangan yang membuat Cyi begitu yakin dengan kebenaran pikirannya sendiri hingga sampai hari ini, dia begitu mudahnya membantah setiap kali Ernst membuat keputusan dalam kehidupan rumah tangga mereka.

"Minggu depan aja kita ke bungalo, Yah--" Cyi menutup pintu kamar sampai berbunyi.

"Kalau minggu ini kenapa?"

"Malas, Yah. Anak-anak pun kayaknya enggak mau--terlalu mendadak!"

Ernst tertawa pelan seraya membuka kancing kemejanya.

"H-3 itu bukan mendadak, Bu. Memangnya se-repot apa sih persiapannya?"

"Banyak dong. Menyiapkan bahan makanan, pakaian, membersihkan rumah yang mau ditinggalin-pokoknya repot deh!" Cyi ber-olahraga tangan menjelaskannya.

"Ibu ini--" Ernst menangkap tangan Cyi dan memeluk tubuhnya dengan gemas, "pintar banget membantah komandan."

Cyi menggeliat sambil berkata manja,"Kalo enggak ngena, ya dibantah dong, Yah--"

"Membantah kok sampai dua puluh tahun?! apa enggak bosan, hmm?" bisik Ernst menahan kesal.

"Makanya, Ayah itu harusnya nanya-bukan ngasih tahu. Kalo urusan keluarga, pasti aku yang lebih tahu mana yang terbaik."

"Terserah-lah." Ernst melepas pelukannya dengan dingin. Hasratnya jadi hilang karena kalimat terakhir yang sudah ribuan kali didengarnya itu. Dia bersalin pakaian dengan cepat memakai 'kostum bersantainya', lalu beranjak ke pintu.

"Mau ke mana, Yah?" Cyi merebahkan diri ke atas ranjang.

"Nyantai dulu, Bu--menikmati hidup." Ernst pergi tanpa menoleh dan berjalan cepat menuju ke lantai bawah.

"Hmm, anak-anak pada ke mana semua ini?" Ernst memandang jam dinding yang menunjukkan pukul 5.40 sore.

Sambil bersiul-siul, dia memeriksa akuarium yang dihuni oleh tujuh ekor ikan hias yang sering menghiburnya di kala senggang seperti ini.

"Ah, kalian sudah lapar?" gumamnya sembari mengambil pelet. Tak lama kemudian, dia asyik menyibukkan ikan-ikan itu dengan butiran pelet yang ditaburkannya sedikit demi sedikit. Setelah puas bersama ikan hiasnya, Ernst beranjak ke taman kecil di depan teras.

Tanaman itu 'menyambut' tuan-nya dengan riang karena paling tidak, mereka akan diguyur dengan air atau kalau Ernst sempat, tanahnya digemburkan. Cuma Ernst yang merawat tanaman itu, penghuni rumah yang lainnya cuma mau menikmati indah-nya saja.

Dari lantai dua, Cyi berdiri di balik jendela seraya memandang suaminya yang tengah asyik dengan tanamannya. Dia mengakui ketelatenan suaminya dalam mengurus taman kecil itu sehingga rumah mereka tampak berseri dan artistik.

"Asyik banget sih, Yah? masa tanamanmu itu lebih menarik dari aku?" Cyi melengos--kembali ke ranjang. Dia merasa kalau suaminya itu tadi kecewa karena penolakannya ke bungalo dalam minggu ini.

Selama dua puluh tahun hidup bersama, Ernst memang lebih sering mengalah padanya meskipun sebenarnya jika Ernst bersikeras--memaksa--dia mau tidak mau akan manut karena sudah pernah tiga kali menyaksikan betapa 'gila'nya suaminya itu kalau sedang marah. Benar-benar jadi 'gelap mata'!

Entah kenapa, Cyi jadi memikirkan Ernst sambil berbaring di ranjang. Dia sebenarnya tidak mengantuk, tapi lagi malas menemani Ernst atau melakukan sesuatu di dapur.

"Udah enggak sabar mau nyobain bungalo yang baru itu kayaknya dia." Cyi memiringkan tubuhnya ke arah pintu kamar.

Memang, Ernst sangat senang waktu mereka ke Desa Jayamukti--sekitar 47 km dari rumah--pada hari minggu yang lalu. Bungalo--rumah panggung wooden made--berkamar dua dengan ruang tamu, dapur, teras, dan MCK (Mandi, Cuci, Kakus) yang terletak sejajar dengan dapur, sedang dalam tahap finishing saat itu. Jam empat-an tadi baru kelar semuanya dan siap untuk digunakan hingga membuat Ernst begitu senangnya dan ingin segera menginap di sana.

"Cuma kalo berangkatnya minggu ini, repot banget. Bisa sih kalo dipaksain, tapi rasanya enggak nyaman aja." Cyi tetap merasa keputusannya sudah benar. Diraihnya ponsel untuk melihat kembali foto bungalo mereka yang berada di kaki bukit--di tengah hutan berhawa sejuk.

"Artistik sih, apalagi kalo pada malam hari," gumamnya mengakui selera suaminya yang 'berkelas' itu, sedangkan dia tidak ikut campur sama sekali dalam mendesainnya karena sejak awal Ernst sudah mengatakan bahwa bungalo adalah proyek pribadinya.

Cyi kembali ke jendela kamar, mencari-cari suaminya yang tidak tampak di taman itu.

Lihat selengkapnya