RUMAH DI TEPI DANAU

Haris Airlangga
Chapter #1

Telepon

Beberapa detik setelah menyalakan handphone, beberapa sms menyerbu masuk.

Sudah bangun?

-

Hei. Kau sudah bangun?

-

Telpon aku jika kau sudah bangun.

-

Aku menelepon namun HP-mu tidak aktif.

Serta yang terakhir.

Telpon aku.

Aku sampai bergidik.

Vivian bisa terlihat sangat sopan dan tanpa cela di hadapan orang banyak namun kepadaku, bakat obsesif-kompulsif-nya tanpa malu-malu dia keluarkan.

Aku menekan nomor Vivian dan mendengarkan suara yang mengatakan pulsaku tidak mencukupi untuk melakukan panggilan. Aku merasa aneh karena tersenyum setelahnya.

Kukirim Vivian sms mengabarkan pulsaku habis dan akan meneleponnya nanti.

Aku baru menghabiskan setengah roti di tanganku saat handphone-ku berbunyi. “Halo?”

“Hei. Ada apa denganmu? Kenapa tadi malam handphone-mu tidak aktif?”

Kukatakan padanya aku memang mematikannya. Namun tidak kujelaskan alasannya.

“Kau jarang sekali melakukannya. Aku khawatir. Bagaimana tidurmu?”

Aku memutar bola mata. “Terimakasih. Aku baik-baik saja. Dan kau tahu, aku tidak perlu obatmu tadi malam. Sekarang aku baru saja sarapan.” Aku membawa piring dan gelas ke tempat cuci piring. “Apa yang sedang kau lakukan?”

Vivian menceritakan dia baru saja mendapat jadwal jaga bulan depan dan berkeluh kesah tentang betapa banyak jam malam yang akan dia hadapi. “Akhir bulan ini kurasa aku harus suntik botox untuk menghilangkan keriput.” Dia terpekik sendiri dan tertawa. “Dan hei, aku senang kau bisa tidur tanpa obat tidur. Bagaimana rasanya? Kau bermimpi sesuatu?”

Mau tak mau aku tersenyum. “Aku baik-baik saja,” kuulangi kalimatku tadi. Sesaat aku ingin menceritakan mimpi tadi malam namun kuurungkan, hanya berujar, “Di sini dingin sekali saat malam.”

Vivian terdengar menyesal dan tak suka. Dia kemudian menyinggung agar aku berhati-hati dengan keluhan alergi yang biasa kumiliki. Dia juga mengingatkan untuk tetap minum obat jika tidurku terganggu. “Tidak ada yang lebih menyeramkan daripada mimpi buruk, Adrian.”

“Akan kuingat itu,” aku refleks mengangguk. Untuk kemudian menyadari bel pintu depan berbunyi. “Hei, ada yang datang. Bicara lagi nanti.”

“Siapa?”

“Belum kulihat. Okay? Bye.

Bye, Adrian.”

Aku meletakkan handphone di meja dan menuju pintu depan. Kusingkap gorden dan mengintip keluar.

Lihat selengkapnya