Aku mengendarai mobil dengan kecepatan setengah lebih lambat dari biasanya. Selain karena ingin menghapal jalan, aku masih kepikiran dengan telepon yang tadi kuterima. Namun tak lama kemudian aku sudah lupa karena asyik menikmati pemandangan yang ada di sepanjang jalan. Ini pertama kali aku melihat danau dari dekat. Langit cerah terpantul jelas di permukaan airnya yang jernih.
Satu yang menarik perhatianku adalah kenyataan bahwa rumah yang kutinggali adalah rumah satu-satunya yang ada di tepian danau. Aku sudah berkendara hampir tiga kilometer ketika akhirnya aku menemukan rumah pertama di tepian jalan.
Aku bertanya-tanya di mana rumah kerabat Lembo yang dia katakan tadi malam.
Sebuah mobil melintas cepat dari arah berlawanan dan memberikan klakson yang keras. Aku menoleh dan melihatnya berhenti. Kuperlambat laju mobilku. Dari spion kuintip seorang wanita keluar dan melambai.
Aku menghentikan mobil dan membalikkan badan.
Wanita itu setengah berlari menujuku. Wajahnya terlihat malu. Atau panik. Aku tak bisa memastikannya.
“Dokter Adrian?” dia melambaikan tangan. Napasnya tersengal.
“Ya?” aku masih belum turun dari mobil, menjulurkan leher dari jendela.
“Saya dokter Lusiana.”
Aku tergagap dan segera membuka pintu mobil. “Oh. Maafkan saya. Adrian.” Aku balas mengulurkan tangan dan menjabat tangannya. Tangannya lembab karena berkeringat. Aku bisa mencium parfum yang dia kenakan.
“Maaf, saya tidak bermaksud mengagetkan karena menghentikan di jalan. Tapi...” ia terlihat ragu untuk meneruskan kalimatnya dan menggeleng pelan. Sambil mengatur napas dan menahan senyum dia kemudian bertanya, “Anda baik-baik saja?”
Aku mengernyitkan kening. Mencoba untuk tersenyum. “Saya baik. Terimakasih. Umh... di sini panas sekali.”
Dokter Lusiana menggeleng pelan, lalu mengangguk pelan. Wajahnya memerah. “Ah. Ya. Panas sekali. Anda ingin ke rumah sakit? Kalau begitu kita bisa pergi sama-sama?”
Aku mengangguk, entah mengapa aku merasa geli dan ingin tersenyum. “Ya. Boleh.”
“Kalau bisa kita pakai mobil saya saja.”
Aku mengernyitkan kening, menunjuk mobilku sendiri.
“Ada yang ingin saya bicarakan.” Untuk pertama kali suara dokter Lusiana terdengar tidak gemetar. Dia tak menungguku dan berbalik menuju mobilnya. Aku yang tak punya pilihan lain mengunci mobilku dan bergegas mengikutinya.
“Ada apa sebenarnya?” aku berhasil mensejajarinya.
Dia tersenyum dan membuka mobil. Aku mengikuti dan duduk di sebelahnya. Setelah memutar mobil dengan hati-hati dia berpaling padaku.
“Sekali lagi saya minta maaf karena mengagetkan.” Dokter Lusiana membuang napas perlahan dari mulutnya. “Saya bingung harus menjelaskan dari mana.”