Aku membasuh tangan di bawah keran. Setelahnya, sambil mengeringkan tangan aku melirik pasien di atas tempat tidur, dan pada seorang ayah yang mendampinginya.
“Usia anak bapak yang masih muda akan sangat membantu proses pulihnya patah tulang ini. Terlebih dari hasil rontgen, patahan tulangnya terletak dalam posisi yang baik dan akan menyambung dengan sempurna. Yang penting ida tidak mematahkan gipsnya.” Aku mengakhiri kalimatku dengan tersenyum dan mengangsurkan sesuatu, “Oh ya, ini tadi gelang di tangannya. Hampir saya gips.”
Sang ayah mendapati leluconku yang garing dengan lucu dan tertawa selama beberapa detik. Dia kemudian menepuk pundak anaknya perlahan dan menasihatinya untuk mendengarkan nasihat dokter.
Aku meresepkan beberapa obat dan menyerahkannya kepada seorang perawat wanita yang dengan sigap mengisi kolom-kolom kosong pada status pasien yang tadi kuserahkan padanya. Dia berpaling pada pasien dan menjelaskan di mana obat tersebut bisa diambil dan mengingatkan padanya untuk datang sesuai jadwal yang diberikan.
Pasien itu keluar setelah mengucapkan terima kasih. Aku menarik sudut bibirku untuk tersenyum.
“Pasien terakhir?”
Perawat tadi tersenyum dan menjawab, “Benar, Dokter,” dia kembali menyibukkan diri menulis kelengkapan status di hadapannya.
Setelah makan aku dan Lusiana memutuskan untuk segera ke rumah sakit. Mendapati poliklinik masih buka dan dokter bedah yang bertugas di sana sedang melakukan operasi cito, aku menawarkan diri untuk menggantikannya. Tidak sulit, karena jumlah pasien yang datang juga tidak ramai. Jauh lebih sedikit dari pasien yang biasa kutangani.
Kulirik jam tangan, hampir satu jam lewat dari tengah hari.
Perawat tadi melihat gelagatku dan berkata. “Dokter sudah bisa pulang sebenarnya. Saya sudah menelepon dokter Luki dan mengatakan jadwal poliklinik yang baru sedang dibuat. Dia berterimakasih karena sudah digantikan.”
Aku mengangguk pelan. Dokter Luki, aku berusaha mengingat nama partner kerjaku yang baru. Aku sendiri tak menyangka bahwa perawat di depanku ini tahu apa yang harus dia kerjakan. Tak banyak yang begitu.
“Saya sedang mengetik jadwal poliklinik. Jika dokter bisa menunggu, akan saya print satu lembar untuk dokter.”
Aku mengangguk dan berkata. “Boleh. Saya tunggu saja.”
“Baik, Dokter. Kalau dokter ingin bikin kopi atau teh, di dispenser ada air panas dan di laci sebelahnya ada peralatan minum. Saya baru memasukkan kopi dan teh.”
Aku tersenyum senang. “Boleh,” aku beranjak dari kursiku dan menuju dispenser.
“Dokter Luki senang kopi dan teh merk itu, makanya itu yang saya beli. Kalau dokter ada pilihan lain, katakan saja biar nanti saya belikan juga. Sekalian kalau ada makanan ringan yang dokter suka.”
Aku berpaling dan mendapati perawat itu masih sibuk mengetik. “Terimakasih. Ini sudah lebih dari cukup. Umh, siapa tadi namamu?”
Perawat itu mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Mare, Dok. Ma-re.”