Sepeninggal Lusiana aku duduk termenung di ruang makan. Kucoba untuk berpikir jernih.
Delapan orang.
Jumlah yang fantastis mengingat lokasi yang sama persis.
Kepalaku mendadak sakit, kuputuskan untuk mandi.
Sehabis mandi kubuka laptop dari dalam tas kerja. Rumah sakit mengizinkan aku membawa file kerja untuk dibawa pulang. Aku ingin menyibukkan pikiran dengan hal lain.
Kuatur playlist lagu yang biasa kudengar saat bekerja. Baru memasukkan satu nama pasien ketika aku teringat belum menelepon Vivian.
Aku beranjak dari kursi dan menekan nomornya. Dia menjawab pada dering pertama.
“Adrian?”
“Hai.” Aku berusaha membuat nada suaraku biasa saja. “Aku sudah di rumah.”
“Oh. Syukurlah. Katakan kau baik-baik saja.”
Aku memutar bola mata. Kubawa langkah menuju dapur dan membuka pintu. “Ya. Aku baik-baik saja.”
“Kau mengatakan ada masalah. Bisa kubantu?”
Aku sontak tertawa. Kutarik kursi dari ruang makan dan membawanya ke jerambah. Duduk di sana dan meluruskan kaki.
“Aku berharap kau di sini untuk membantu. Hanya masalah kecil tentang kepindahanku.”
“Kepindahanmu? Kupikir semua sudah beres.” Vivian termakan umpan yang kuberikan.
Maka kuulangi cerita Lusiana tentang sudah tersebarnya kabar tentang aku sebagai dokter yang temperamental dan sulit diajak bekerja sama, kutambahkan sedikit bumbu supaya terdengar makin dramatis namun tetap masuk akal.
Vivian terdengar sangat menyesal dan sempat menyarankan aku untuk kembali ke kota.
Aku tertawa dan menjawab. “Tidak sampai begitu. Mereka mungkin hanya mendengar dari satu sisi saja. Apalagi kan aku memang bermasalah dengan dokter senior. Jadi wajar saja jika mereka lebih percaya pada kisah yang memojokkanku.”
“Kau pikir begitu?”
Aku tertawa lagi. Vivian adalah seorang dokter jiwa, namun kadang aku merasa dia lebih pantas duduk sebagai pasien. Meski harus kuakui keuletannya dalam mengorek pertanyaan, kerap membantu pasiennya untuk bangkit dari kebisuan dan mau menceritakan masalah yang mereka hadapi.
“Aku sedang duduk di teras belakang rumah. Mereka membangun jerambah yang panjang. Di sini indah sekali. Akan kukirim gambar untukmu.”
Kuambil foto dan kukirim pada Vivian. Dia terdengar gembira menerimanya.
“Aku akan meluangkan waktu untuk bisa sampai di sana. Kau dengar ini?”
Aku tertawa karena tahu dia takkan mampu mewujudkannya. “Ya. Datanglah kemari.”
“Aku akan membawa peralatan renangku.” Kembali dia tertawa.
Namun aku tak ikut tertawa kali ini. Pikiran itu kembali menggangguku.