RUMAH DI TEPI DANAU

Haris Airlangga
Chapter #6

Cerita Lembo

“Dokter sedang apa?”

Aku baru saja muncul dari dalam air. Kuputar kepala dan melihat Lembo sedang berperahu kearahku. Perahu kayunya terayun seirama gelombang air yang kubuat saat berusaha mengapung.

Keningku berkerut.

Huh?

“Dokter sedang apa?” dia bertanya sekali lagi.

Aku baru sadar dia pasti melihatku berpakaian lengkap. Aku menggeleng pelan dan mencoba tersenyum. Kutunjuk lantai rumah yang terbuka dan berkata, “Saya terpeleset saat sedang beres-beres.”

Wajah Lembo tak terkesan dia mempercayai ucapanku. Namun dia menjulurkan tangan, memintaku naik ke perahu. Aku menggeleng pelan lagi dan menunjuk tangga di ujung jerambah. “Saya akan berenang ke sana.”

Entah karena ini pertama kalinya aku berenang setelah sekian lama atau rasa kaget telah menyerap seluruh tenagaku; rasanya aku lelah sekali saat berhasil mencapai tangga. Tungkaiku terasa lunglai seperti tak bertulang, rasanya tak mampu untuk memanjat naik.

Aku bertahan sebentar duduk di pijakan tangga yang paling dasar, air danau menjilati sebatas pinggang.

Perahu Lembo sudah berada di dekatku. Sekarang bisa kulihat isi perahunya. Peralatan memancing. Entah sudah atau belum dilakukannya. Melihat tidak ada ikan di dalam perahu, mungkin belum.

“Dokter tidak apa-apa?”

Aku mengerling dan menatapnya. Ini ketiga kalinya aku bertemu dengannya dan aku rasa itu memang kebiasaannya; bicara tanpa ekspresi sama sekali.

Aku mengangguk pelan dan bergumam, “Ya, hanya sedikit kaget.”

Dia mengangguk pelan mengikuti gerakanku.

Di bawah terang matahari aku baru bisa melihat Lembo lebih jelas, dia lebih muda dari yang kuperkirakan sebelumnya. Jelas lebih muda dariku. Rahangnya yang keras membuat kontur wajahnya semakin kaku. Kulit wajah dan lengannya tampak gelap terbakar matahari, kontras dengan kulit leher di balik kerahnya yang terlihat lebih bersih. Kalung anyaman akar bahar menggantung rendah di lehernya. Jika gambaran yang kudapat saat bertemu di malam hari adalah seram dan tak bersahabat; tadi pagi adalah misterius dan mencurigakan; kini dia justru terlihat sebaliknya, dia terlihat... ceria.

Aku mengedikkan kepala ke arah perahunya, “Memancing?”

Dia hanya mengangguk sebagai jawaban.

Kesunyian yang kemudian tercipta membuatku teringat sesuatu. “Kaukah tadi yang menyanyi?”

Untuk pertama kalinya aku melihat raut Lembo berubah. Matanya seakan menyelidik saat bertanya, “Bernyanyi?”

Aku jadi ragu untuk menceritakannya, sempat kurasakan pertanyaan Lembo tadi menguji kewarasanku, namun karena sudah terlanjur, kukatakan saja, “Saat saya menyelam mengambil kacamata, saya mendengar ada yang bernyanyi.”

Lembo mengerutkan kening, matanya menyipit di bawah alis matanya yang datar dan hitam. Namun hanya sesaat karena setelahnya dia kembali menunjukkan ekspresi datar yang biasa. Dia menggeleng. “Tidak. Saya tidak bisa bernyanyi.”

Aku memutuskan untuk tidak bercerita lebih lanjut. Kuangkat tubuh dari air, tiba-tiba merasa aneh. Kupaksa betisku untuk menaiki tiap undakan, serasa jelly. “Baiklah, saya mulai kedinginan.”

Lembo mengangguk sebagai balasan dan mengayuh perahunya mundur menjauh. “Hati-hati,” ujarnya. Aku memutar kepala padanya, sekilas aku seperti melihatnya tersenyum.

Aku balas tersenyum, untuk pertama kalinya merasa kalau dia benar-benar ingin aku berhati-hati.

*****

 

Selesai berganti pakaian aku membereskan file kerja yang tadi sempat kutinggalkan. Saat selesai matahari sudah hampir tenggelam. Kugeser kursi dan kutarik tirai jendela sampai terbuka, membiarkan cahaya jingga itu masuk. Benar-benar jendela yang pas untuk melihat matahari terbenam.

Lihat selengkapnya