RUMAH DI TEPI DANAU

Haris Airlangga
Chapter #7

Pertemuan Kedua

Lembo tak banyak bicara selama perjalanan pulang ke rumahnya. Hanya sesekali dia menunjuk tempat-tempat yang dia kira akan menarik bagiku. Dia juga mengatakan bahwa dia menaruh sampan di jerambah belakang rumah namun bukan berarti aku bisa menggunakannya sendirian.

“Harus ditemani?” aku memastikan maksudnya.

“Harus ditemani.”

Beberapa saat kemudian kami sampai di kompleks perumahan pegawai rumah sakit. Lembo tinggal di rumah paling ujung, yang terlihat paling tinggi, dipaksa oleh kontur tanah yang tidak rata. Aku berniat turun dari mobil namun dia mencegah saat melihatku membuka pintu.

“Sudah malam.”

Aku tak mengerti maksudnya, meski dalam hati aku merasa lucu karena siang atau malam bukan hal yang berbeda bagiku; seorang dokter yang terbiasa bekerja sepanjang hari. Namun kuikuti saja, aku tak jadi turun.

Lembo keluar mobil tanpa berkata-kata lagi. Dia kemudian melangkah naik di jalan perumahan yang menanjak. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang terus menjauh. Tidak sekalipun dia melihat ke belakang.

Vivian menelepon dalam perjalanan pulang.

“Aku sedang keluar,” jawabku saat dia menanyakan apa yang sedang kulakukan.

“Kau praktik malam?” nada suaranya terdengar menyelidik.

“Aku hanya sedang keluar sebentar. Ada yang ingin kucari,” entah kenapa, aku merasa tak ingin bercerita tentang Lembo padanya.

“Apa yang sedang kau cari?”

Oh, Vivian. Aku tersenyum.

“Aku mencarimu.”

Vivian tergelak di seberang sana. Dia lalu menceritakan sekelumit malamnya dalam lima menit yang terasa lebih lama.

“Kau tahu, aku bertemu siapa saat berbelanja di swalayan malam ini?”

“Katakan padaku.”

“Tebak.”

“Vivian, aku takkan bisa menebaknya.”

“Kau kenal dia.”

Mataku menangkap papan nama minimarket dengan lampu kelap-kelip mengelilinginya. Kuputar mobil dan memarkirnya di pinggir jalan.

“Oh, pertanyaanmu sulit sekali, Vivian.”

“Ayo tebak,” bukan Vivian namanya jika mudah menyerah.

“Laki-laki atau perempuan?”

“Aku bertemu dokter Horison.”

Gerakanku terhenti. Dokter Horison adalah ahli anestesi tua bangka yang mengantarkanku terbuang sekarang. 

“Dia mengenalimu?”

“Dia tak melihatku. Aku yang melihatnya.”

Aku mengangguk pelan lalu turun dari mobil. “Oh.” Tak bisa kupikirkan cara merespons yang terdengar lebih antusias. 

“Dia sedang berbelanja, ditemani anaknya. Atau cucunya. Oh, Tuhan, dia terlihat tua sekali.”

Sekelebat rasa bersalah datang menikam. Aku mengumpat Vivian dalam hati.

“Kau tak sedang mengarang cerita, kan?” aku mendorong pintu masuk minimarket, udara pendingin ruangan yang berlebihan segera menyambutku.

Lihat selengkapnya