RUMAH DI TEPI DANAU

Haris Airlangga
Chapter #9

Wolio Aga

Kukemasi pakaianku dan duduk di tempat tidur.

Pikiranku hampa.

Ini gila.

Mata merah muda itu terus terbayang.

Kini setiap kecipak air danau yang terdengar membuatku bergidik.

Seumur hidup aku bukanlah seseorang yang penakut. Tak sekali pun sejak awal kuliah kedokteran hingga menjadi seorang dokter bedah kutemui hal-hal yang membuatku merinding sehebat ini.

Keuntungan menjadi dokter adalah kemandirian yang sudah dilatih sejak awal; ketidaksengajaan untuk menjadi seseorang yang berpikir rasional. Aku terbiasa untuk mencari tahu segala sesuatu yang menurutku ganjil hingga puas dengan penjelasan yang kudapat setelahnya. Hal itu membuatku jadi orang yang tidak gampang terpengaruh cerita hantu atau mitos yang kerap beredar di kalangan mahasiswa kedokteran atau rumah sakit.

Aku bukan penakut. Kukatakan hal itu berulang-ulang.

Namun tak urung saat tadi melihat makhluk itu menghilang tepat di depan mata, aku hampir terkencing. Butuh hampir setengah jam baru aku mampu untuk keluar dari ruang bawah dapur dengan lutut lunglai dan lemas.

Untuk kemudian turun kembali.

Kututup pintu di lantai. Kucari paku dan kupastikan lantai itu tidak bisa dibuka kecuali seseorang menggergaji atau memasang peledak di atasnya.

Pintu penghubung di dapur juga kupaku rapat.

Setiap jejak lendir yang kutemui, kusiram bersih hingga yakin tak ada lagi bukti tersisa dari makhluk itu.

Aku menghabiskan satu jam untuk membersihkan diri di bawah shower.

Kutatap kopor yang sudah tersusun rapi di atas tempat tidur. Bimbang.

Aku menepuk pipi.

Terasa sakit.

Jelas ini bukan mimpi.

Namun benarkah di luar sana ada makhluk seaneh itu?

Malam berlalu lambat.

Aku kembali terbayang mata merah muda itu.

Mata itu berkedip.

Aku merasa mual.

Kupungut sebutir pil yang biasa kuminum.

Lima menit kemudian kuminum dosis kedua.

*****

 

Wake up! Wake up! Wake up!

Run! Run! Run!

Lihat selengkapnya