Aku memasukkan handphone ke dalam saku dan menyalakan mesin mobil. Kututup kaca dan menyalakan pendingin. Kepalaku sakit, kucoba untuk merebahkan diri dan memejamkan mata.
Kemudian terdengar nada pesan masuk.
Dokter di mana?
Beberapa saat sebelumnya aku telah mengirim pesan ke Lusiana, kukatakan ingin bicara sesuatu yang penting. SMS barusan adalah jawaban darinya.
Kukirim jawaban memberitahu aku di halaman parkir rumah sakit.
Beberapa saat kemudian dia datang, tangannya menaungi wajahnya dari terik matahari. Dia mendekat dan mengetuk kaca mobil.
Aku menurunkannya dan tersenyum. “Hai, maafkan aku memanggilmu seperti ini.”
Dia mengangguk, “Tak apa. Ada apa?”
Aku mengajaknya masuk, “Kau sudah makan?”
Lusiana terlihat salah tingkah. “Belum.” Tapi bisa kulihat dia melirik jam tangannya.
“Jika kau tidak sibuk, aku ingin mengajak makan siang.”
Lusiana kembali memutar-mutar jam tangannya. “Aku... baiklah.” Dia menarik pintu dan duduk. Lalu menatapku dengan tatapan menyelidik. “Ada apa?”
Aku menggeleng pelan. “Nanti kuceritakan.”
Namun dia sudah telanjur melihat barang-barang yang tertumpuk di kursi belakang. Dia terkesiap namun tak mengatakan apapun.
Aku menarik napas dalam. “Nanti kuceritakan.” Kuulangi lagi kalimatku tadi, dengan nada yang tak yakin. Kujalankan mobil dan berkata, “Sekarang, kau ingin makan di mana?”
Bahasa tubuh Lusiana berubah drastis, jika tadi dia terlihat malu-malu dan merona, dapat kulihat sekarang dia menjaga jarak. Lusiana menyuruhku terus jalan dan sesekali memberikan petunjuk jalan.
Sikap tak nyamannya terus terlihat sepanjang jalan. Berkali-kali dia memperbaiki posisi duduknya seakan aku telah memasang mat accupressure di sana. Lusiana juga tak sekali pun melihat ke arahku, pandangannya terus ke luar jendela mobil di sampingnya.
Saat aku berbelok di pertigaan sesuai arahannya, kami berpapasan dengan sebuah mobil polisi yang melaju kencang dengan sirine menyala. Lusiana sontak menegakkan kepala.
Aku memperhatikan gelagatnya.
“Bisakah kita menepi?” suaranya terdengar gemetar.