“Ada apa?”
Jakob menatapku curiga.
Aku menggeleng. Mengingat-ingat.
Ya, terakhir kali malam itu, aku yakin Lembo mengenakan kalung akar bahar.
Apalagi menurut Mare, semua warga asli mengenakannya.
“Dokter menemukan sesuatu?”
Aku mengangkat wajah pada Jakob dan kembali menggeleng. “Aku tak yakin. Akan kusampaikan nanti.”
Jakob memicingkan mata. Namun dia tak mendesak lebih jauh. Dipasangnya lagi penutup mayat. Sesaat aku melihatnya sedang mengamati wajah Lembo dengan lebih seksama, aku hampir yakin dia sedang mencari apa yang tadi aku temukan.
Alih-alih, raut wajah Jakob tampak sedih.
Keningku berkerut. Kukeluarkan handphone dan meminta izin keluar ruangan.
“Aku ingin menelepon sebentar.”
Jakob hanya mengangguk.
Aku bergegas keluar sambil menggosok hidung. Kutekan nomor Vivian. Baru aku sadari dia sama sekali belum menghubungi sejak pagi.
Tak ada yang menjawab.
Ini benar-benar aneh.
Kucoba untuk meneleponnya lagi.
Berkali-kali.
Masih tak ada yang mengangkat.
Aku menutup telepon dengan gusar.
Saat berbalik aku mendapati Jakob sudah berada di belakangku. Aku tak tahu sudah berapa lama dia berada di sana.
“Saya ingin tahu apa yang tadi Dokter temukan.”
Aku memastikan ucapannya. “Ya?”
“Saya juga menyadari ada yang hilang dari jasad Lembo.”
Aku memasukkan handphone ke dalam saku, memastikan tangannku tetap di sana, karena kini bisa kurasakan keduanya gemetar. Kucoba untuk berdiri tegap meyakinkan. Oh, seandainya aku menyimak dengan lebih serius saat Vivian berceloteh tentang ciri-ciri pembohong, tentu kini aku bisa menghindarinya.
“Aku tak mengerti,” balasku dengan nada tak yakin.
Jakob mendekat hingga kami nyaris bertabrakan, namun aku bergeming, mempertahankan wilayahku. Di telingaku, Jakob kemudian berbisik, “Yang hilang adalah kalung. Serupa dengan yang saya kenakan,” Dia kemudian menarik tubuhnya.
Aku mengangkat wajah perlahan. Beradu pandang dengan matanya yang menyala seakan menyelidik.
“Pertanyaannya, bagaimana bisa, Dokter langsung menyadarinya?”
*****
Lagi-lagi dokter Luki datang sebagai penyelamat. Dia memanggil kami berdua untuk kembali ke ruangan Lusiana.
“Salah seorang tetua adat ingin bertemu,” jelasnya singkat.
Jakob hanya mengangguk.
Aku berusaha untuk tak terlihat senang.
“Bisakah aku menyusul? Aku ingin menghubungi seseorang.”
Dokter Luki mengangguk dan mengingatkan agar aku tak lama-lama.
Tepat ketika punggung keduanya menghilang di belokan aku mengeluarkan handphone, menekan nomor yang sudah sangat kuhapal.