Aku menelan ludah. Hampir yakin semuanya bisa mendengarnya di tengah kesunyian seperti saat ini. Tangan nenek uban masih berada di depan wajahku, seakan merabai sesuatu yang tak tampak.
“Oooh... oyoyoyoyyy...” gumamnya tak jelas.
Lalu berhenti.
Nenek uban menurunkan kedua tangan dan ganti mengusap-usap wajahnya, seakan mengamini apa pun yang sedang terlintas di dalam benaknya. Bibirnya komat-kamit tanpa suara.
Aku hampir beranjak mundur ketika dia meraih kedua tanganku.
Dingin namun... aku tak tahu apa istilah yang tepatnya. Kulit tangannya justru terasa akrab. Seakan dia memang benar sedang ingin memberkatiku.
“Katakan... apa yang telah terjadi tadi malam?”
Aku tercekat.
Nenek bangka.
Kucoba untuk tidak terlihat gusar. Kugerakkan tangan, mencoba melepaskan genggaman.
Nenek itu tidak bersedia.
Aku menyadari betapa anehnya posisi kami saat ini: berpegangan tangan, disaksikan tiga orang dewasa yang juga terdiam tanpa tahu harus berbuat apa.
“Apa yang terjadi...?” aku bertanya balik dengan lirih.
Nenek itu mengangguk. Aku masih tak yakin dengan apa yang dia inginkan. Wajah keriputnya tanpa ekspresi, matanya masih hampir terpejam, namun kerut bibirnya seakan tersenyum. Mengingatkanku pada sejenis mamalia penidur yang aku lupa namanya. Sesaat pikiranku terpecah.
“Mungkin kita bisa bicara sambil duduk. Lebih nyaman.”
Ah.
Dokter Luki memang penyelamat. Aku menahan diri untuk tidak bergegas memeluknya.
Tentu tidak akan kulakukan. Hanya saja itu yang sempat terlintas untuk mengungkapkan rasa syukur. Bagaimana tidak, ini kali ketiga dia melakukannya.
Nenek itu menyerah, melonggarkan genggamannya. Aku sigap menarik kedua tangan, terkesan terlalu cepat, namun aku tak peduli. Nenek beruban itu lalu mengibaskan tangannya pada kursi kosong di tengah ruangan. “Ya... tentu saja. Dokter dapat bercerita dengan lebih leluasa di sana.”
Aku bisa saja telah salah menduga usia nenek beruban ini, mendengar betapa lugasnya dia bicara barusan. Tampaknya dia tak seringkih penampilan luarnya.
Tiga langkah menuju kursi terdakwa.
Aku memikirkan cerita terbaikku.
Ceritakan tentang makhluk yang kautemui.
Aku menahan diri untuk tidak memutar bola mata.
Bahkan langkah pengantin akan lebih cepat dari langkahku saat ini.
Yang mengherankan, ketika aku berhasil duduk,---dan mereka semua ikut duduk di kursi yang tersisa, kecuali Jakob, yang memilih tetap berdiri di sudut ruangan, bersilang lengan di dada, dengan pandangan menghakimi---aku merasa lebih tenang.
Kau tidak bersalah. Aku mengulang kalimat itu berkali-kali di dalam kepalaku.
Kau. Tidak. Bersalah.