Jakob tak mengizinkan aku menggunakan mobilku. Aku sedikit senang karena setidaknya dia secara terbuka menunjukkan iktikad aslinya yaitu ingin menahanku agar tak meninggalkan kota. Aku jadi tak perlu bersikap manis atau merasa berutang budi padanya.
“Silakan Dokter ambil keperluan Dokter untuk malam ini.”
Maka di sinilah aku, mengaduk-aduk isi kopor yang memang sudah berantakan sejak awal. Aku memilih dua lembar pakaian dan memisahkannya. Kukosongkan satu tas berisi perlengkapan kerja dan mengisinya dengan barang yang telah kupisahkan.
Obat tidur.
Aku mengorek-ngorek isi tas namun tak menemukannya.
Oh, pasti aku meninggalkannya di rumah.
“Dokter bisa mengambil kekurangannya esok hari. Cukup untuk malam ini saja.”
Aku menarik napas dalam-dalam. Seandainya aku bisa menyewa kamar penginapan.
Lima menit kemudian aku sudah duduk di sampingnya, meninggalkan pelataran parkir rumah sakit. Jalanan lengang. Lampu-lampu mulai menyala dan temaramnya yang aneh membuatku merasa tak nyaman. Seakan hanya kami berdua yang sedang mendiami kota.
Aku belum pernah masuk ke mobil polisi. Sekilas tak ada yang berbeda. Namun jelas mobil ini sudah dipakai Jakob cukup lama, tampak beberapa barang pribadi menjadi penandanya. Saat masuk tadi saja aku mendapati sepatu olahraga anak-anak, yang segera disingkirkan oleh Jakob dengan wajah tersipu. Aku berpura-pura tak melihat kacaunya kursi belakang.
Jakob memutar mobil ke arah yang belum pernah kulewati. Menurun dan berkelok-kelok. Perasaanku makin tak nyaman.
Bagaimana jika dia menurunkanku di hutan?
Aku sekarang berusaha mengingat-ingat belokan yang sudah dilewati.
Jalan sepi sekali.
“Dokter mau beli makan malam apa?”
Aku tersentak. Menoleh. Lidahku kelu.
Aku tak ingin dibuang di hutan.
“Pilihan kedua adalah kita makan di rumah. Saya pikir masih ada makanan yang cukup untuk kita semua.”
Aku mengangguk menyetujuinya.
“Terserah saja.”
Jakob mengangguk. Sudut mataku menangkap dia tersenyum.
Kemudian lengannya terjulur, menyalakan radio.
“Tidak ada yang menarik biasanya. Terlebih sudah malam seperti ini.” Namun dia masih memutarnya. Radio gemerisik dengan suara terputus-putus.
Akhirnya dia menyerah dan mematikannya. Tertawa sebentar saat melakukannya.
Aku mau tak mau ikut tersenyum.
“Masih jauhkah?”
Jakob menoleh. “Rumah saya?” Dia kemudian mencondongkan tubuh ke depan. Kedua lengannya memeluk roda kemudi. “Selepas turunan ini kita naik. Rumah saya ada di balik putaran bukit di depan ini.”
Aku mengangguk-angguk meski tak paham. Kucoba untuk mencari bahan pembicaraan. Apa pun selain kasus hari ini.
“Sudah lama bertugas di sini?”
Bagus sekali, Adrian. Aku mendengar suara Vivian mengejek.
“Di sini? Hampir dua belas tahun.”
Aku mengangguk-angguk. Tak tahu harus berkomentar apa lagi. Basa-basi jelas bukan keahlianku.