Sungai Limau, 1963
Abak mengayuh sepeda seperti orang linglung. Keningnya terus berkerut dan pikirannya tampak tidak bersama raganya. Sesekali dia menghela napas dengan berat sehingga Niam yang tengah duduk manis di atas pedati yang dituntun Abak, jadi tergugah untuk melirik. Gadis itu mulai penasaran, hal apa yang membuat ayahnya itu gundah. Barangkali ada yang bisa dia bantu jika Abak mau membuka diri untuk bercerita.
“Bak! Lubang!” pekik Niam beberapa detik sebelum ayahnya itu gagal menghindari lubang besar yang menganga di jalan. Jika saja Niam tidak berteriak, mungkin sepeda Abak akan terjungkal dan kerbau-kerbau bodoh yang menarik pedati ini akan menginjak Abak sampai sekarat.
“Astagfirullah!” seru Abak. Dia segera mengerem sepedanya. Kedua kakinya turun ke jalan untuk menambah daya gesekan. Sandal jepitnya yang sudah tipis nyaris putus karena pemberhentian mendadak itu.
“Apa yang Abak pikirkan? Hampir saja kita tidak selamat,” keluh Niam. Dia turun dari pedati. “Naiklah ke pedati, biar aku yang pakai sepeda. Sepertinya Abak sudah capek.”
“Tidak usah. Biar Abak saja,” jawab Abak sebelum kembali mengayuh sepedanya.
Niam berkacak pinggang, kesal. Meski begitu dia tidak bisa mendebat Abak. Bahkan, jangankan mendebat…, untuk berkacak pinggang begini saja Niam harus memastikan dulu Abak tidak melihatnya. Karena kalau sampai Abak tahu, bisa-bisa dia dipecut dengan ikat pinggang sesampainya mereka di rumah karena dianggap kurang ajar. Jadi mau tidak mau, Niam kembali naik ke pedati dan menyentak dua kerbau di depannya untuk jalan lagi.
Jika maskulinitas laki-laki yang rapuh itu wujudnya manusia, maka itulah Abak. Dia pantang menceritakan kesulitannya dan lebih memilih memendam sendiri beban itu sampai keningnya berlipat. Harga dirinya sangat tinggi, setinggi gonjong di atap rumah gadang1. Dan harga diri itu dianggapnya hancur jika isi kepalanya tumpah pada Niam yang notabenenya anak perempuan. Padahal sekali-kali, Niam ingin Abak jujur padanya. Walaupun dia hanya perempuan muda yang dianggap tidak berdaya, dia ingin mendengarkan keluh kesah ayahnya, barangkali ada yang bisa dia bantu sebagai anak perempuan tertua dalam keluarga.
“Bagaimana bisa lubang sebesar itu tidak tampak di mata Abak?” gerutu Niam pelan, pada dirinya sendiri. Dia tidak habis pikir.
Gadis itu kembali naik ke pedati. Dilecutnya dua ekor kerbau yang menarik pedati itu untuk kembali jalan mengikuti sepeda Abak.
Abak mencari nafkah dengan menjual pakaian murah yang biasa dikenakan buruh tani saat turun ke sawah. Dia mendapatkan kain-kain buruk dari pabrik, lalu mengolahnya menjadi baju dan celana layak pakai. Setelah itu, dia akan berkeliling dari pasar ke pasar untuk menjajakan dagangannya. Dia biasa pergi dengan sebuah sepeda unta, dan pedati untuk membawa barang yang akan dijual. Hari Senin, dia mengayuh sepeda dari Padang ke Bukittinggi untuk berjualan di Pasa Ateh. Hari Selasa, dia membuka lapak di Pasa Raya. Hari Rabu dan Kamis, dia pergi ke Sungai Limau. Lalu sisanya, dia sering mangkal di Tiku. Intinya, Abak bisa ada di mana saja, selagi ada pasar yang bisa dikunjungi dan pembeli yang membutuhkan produknya. Dan dalam sehari, dia bisa mengayuh sepeda selama enam jam.
Pendapatan Abak tidak tentu. Dalam sehari, dia bisa mendapat uang yang cukup atau tidak menghasilkan apa-apa sekalian. Meskipun harga dagangannya sudah murah, tetap saja para petani dan buruh yang membeli menawarnya habis-habisan. Ekonomi tengah sulit. Pakaian tidak lagi dihitung sebagai kebutuhan utama. Pekerja kelas bawah hanya akan membeli sandang jika baju yang dikenakannya sudah benar-benar robek. Bahkan terkadang, mereka lebih memilih untuk menjahit karung goni ketimbang membeli produk jadi.
Sekali-kali di hari libur dan akhir pekan, Niam ikut berjualan dengan Abak untuk belajar berdagang. Seperti misalnya hari ini, sekolah Niam diliburkan karena kemarin atapnya roboh. Jadi meskipun masih hari Kamis, dia bisa ikut Abak ke Sungai Limau.
Mulanya, Abak tidak setuju Niam ikut ke pasar. Menurutnya, lebih baik anak gadis di rumah saja, belajar memasak dan menjahit. Biarlah pekerjaan kasar dilakukan oleh laki-laki. Tetapi saat itu Abak sedang tidak sehat, sehingga dengan segenap keberanian, Niam sedikit bersikeras. Dia bilang, saat ini semua orang harus turun tangan untuk mencari uang. Perempuan juga bisa berdagang di pasar. Terlebih Abak tidak memiliki anak laki-laki. Jika bukan kepada Niam si anak perempuan pertama, kepada siapa lagi Abak akan mewariskan ilmu berdagangnya? Pada akhirnya Abak hanya bisa mendengus. Niam lalu melompat ke pedati sebelum ayahnya itu berubah pikiran.
Setelah mendapat tempat di pasar, Niam akan menata dagangan dengan gesit di saat Abak memarkir pedatinya. Kerbau-kerbau itu Abak beri makan dan minum. Ikatannya dilonggarkan sedikit agar mereka bisa beristirahat. Biasanya setelah Abak selesai mengurus kerbau, selesai pula Niam menata meja dagangan mereka.
“Apa Abak tidak lelah, setiap hari menempuh perjalanan sejauh ini untuk berdagang?” tanya Niam sambil menyeka keringatnya yang bercucuran. Kebetulan hari ini matahari sedang terik-teriknya.
“Dibilang lelah, ya, lelah. Tetapi kalau Abak mengeluh, apakah lelahnya akan hilang?” tanya Abak balik.
“Kan, Abak bisa libur sebentar. Mungkin istirahat sehari,” jawab Niam.
Abak menggeleng. “Istirahat itu akan memupuk rasa nyaman. Kemudian rasa nyaman itu akan berubah menjadi kemalasan yang menahun. Pantang bagi laki-laki untuk bermalas-malasan!”
Niam tidak menyahut lagi. Sulit mendebat Abak jika beliau sudah membawa-bawa kaumnya.
Hari Kamis adalah Hari Balai2 di Sungai Limau alias hari di mana pasar disemarakkan. Pedagang yang berasal dari masyarakat lokal dan masyarakat yang datang dari luar kota–seperti Abak– tumpah ruah menutupi jalan di sekitar pasar. Ibu-ibu berbaju kurung dan selendang panjang akan datang menggandeng balitanya untuk melihat-lihat, barangkali ada barang yang menarik untuk dibeli. Para buruh tani hadir untuk mencari sesuatu yang mereka butuhkan. Begitu juga dengan anak-anak muda yang tidak sekolah, mereka berkeliling menikmati hiruk-pikuk Hari Balai. Tawar menawar berlangsung seru. Pembeli yang pintar akan mendapat barang murah, sedangkan pedagang cerdik akan berhasil menjual dagangannya dengan harga tinggi. Tergantung siapa yang lebih pintar dalam bernegosiasi. Pemuda-pemuda kuat menawarkan tenaganya untuk memikul karung. Para pengemis juga ikut hadir di setiap pojok pasar, berharap ada kemurahan hati yang bisa memberi mereka makan. Pokoknya, ramai sekali!
Niam tidak berhadapan langsung dengan pembeli. Dia hanya mengamati Abak. Jika tawar menawar antara Abak dan pembeli sukses, maka Niam yang akan membungkus barangnya. Ibaratnya panggung, maka Niam adalah orang di belakang layar yang memudahkan semua urusan Abak.
“Wajah Abak galak sekali. Nanti pembeli kabur semua,” ujar Niam saat lapak mereka sepi.
“Ah, tahu apa kau? Abak sudah jualan lebih dari dua puluh tahun,” sahut Abak, ketus. Dia tidak suka mendengar komentar tentang dirinya. Ditambah lagi hari ini perasaannya sedang keruh. Bisa-bisa Niam dia jual juga kalau anak itu sekali lagi mengatakan hal yang tidak penting.
Sebenarnya, Abak mulai menikmati keikutsertaan Niam berdagang dengannya. Tetapi Abak tidak suka jika gadis itu terlalu banyak melontarkan pendapatnya. Di mata Abak, Niam tidak tahu apa-apa. Seharusnya dia diam saja dan memperhatikan, bukannya bicara yang tidak perlu.
Celotehan perempuan tidak akan meringankan beban laki-laki, melainkan membuat laki-laki tambah pusing. Oleh karena itu, lebih baik perempuan mengalirkan energinya pada jahitan dan masakan di dapur. Biar laki-laki yang menghadapi kerasnya dunia. Begitulah pikir Abak.
“Kita tutup saja,” ujar Abak kemudian. “Sudah siang begini, tidak ada lagi yang beli.”
“Baik, Bak,” sahut Niam, patuh.
Mereka segera berkemas. Pakaian-pakaian yang tidak terjual dilipat kembali oleh Niam. Barang-barang untuk mendirikan lapak diangkut Abak ke atas pedati. Kerbau-kerbau yang tengah bersantai itu terpaksa berdiri lagi.
Perjalanan pulang ke Padang terasa panjang. Di tengah panas terik dan rasa lapar, Niam merasa akan demam. Sudah lebih dari dua jam mereka bertempur dengan tanah yang tidak rata dan sinar mentari yang menyengat. Tetapi dia tidak pantas mengeluh karena Abak pastilah lebih menderita. Tidak seperti Niam yang duduk manis di atas pedati, lelaki tua itu mengayuh sepeda. Dia masih saja menolak bergantian dengan anak gadisnya. Tetapi mungkin karena lelah itu pula akhirnya Abak membuka diri tanpa sadar.
Tiba-tiba Abak berujar, “Tampaknya, Abak akan kembali pada Mak Siti.”
Niam terbelalak. Kata-kata yang baru saja dilontarkan Abak membuatnya kaget bukan kepalang.