Rumah Gadang Nek Niam

Annsilly Junisa
Chapter #3

Sudirman

Padang, 1965


Kak Elisa melahirkan anak kedua. Seorang bayi perempuan yang manis dan lucu, sama seperti kakaknya yang juga perempuan. Karenanya, saat bayi itu berumur empat belas hari, semua orang berkumpul di Limau Puruik untuk acara akikahnya. 

Bayi Kak Elisa begitu lucu, sehingga Abak yang semula sedih karena gagal mendapatkan cucu laki-laki tetap menyukainya. Padahal saat mantri yang membantu bayi itu lahir berteriak, “Anaknya perempuan!”, Abak terdiam cukup lama di ambang pintu. Dia tidak langsung masuk untuk melihat keadaan Kak Elisa. Setelahnya pun dia murung berhari-hari. Pada Mak Siti dia berkata, “Tiga belas anakku perempuan semua. Kini dua cucuku pun perempuan. Apa aku dikutuk sehingga tidak bisa memperoleh keturunan laki-laki?”

Mak Siti mengusap bahu Abak, menenangkannya. “Lihatlah dulu cucumu itu. Dia sehat dan gemuk. Lucu sekali, seperti Elisa saat dulu baru lahir.”

Akhirnya Abak pun luluh dengan bujukan Mak Siti. Dilihatnya lah cucunya yang masih merah itu. Ternyata benar menggemaskan. Wajahnya mirip sekali dengan Elisa, berbeda dengan kakaknya yang lebih mirip bapaknya. Karenanya, Abak jadi terjebak nostalgia. Dia teringat lagi bagaimana rasanya dulu menyambut Elisa–anak pertamanya– lahir. Setelah itu, dia jadi lupa soal kutukan tidak punya keturunan laki-laki yang sebelumnya dia pikirkan. 

Seperti acara-acara pada umumnya, di acara akikah ini pun para wanita disibukkan dengan urusan dapur. Sejak pagi buta Niam dan kakak-kakak tirinya sudah memasak nasi dan berbagai lauk untuk dihidangkan kepada tamu yang datang. Sedangkan para laki-laki membantu memotong dan menguliti kambing. Sisanya, mereka hanya ngobrol bersama rokok dan kopi di lanjar tengah sampai semua hidangan selesai, dan acara akikah siap dimulai.

Niam sudah bersimbah keringat dan arang saat naik dari dapur ke lanjar. Agar bau badannya tidak mengganggu tamu, dia duduk menepi, di ambang pintu, dan menyaksikan prosesi akikah dari jauh.

Diam-diam, Niam takjub sekali melihat Elisa. Dalam dua tahun pernikahan, dia sudah memiliki dua orang anak. Kehamilannya nyaris tidak berjarak sehingga tubuhnya hampir tumbang saat hamil tua. Untung saja sekarang dia sudah sedikit lebih baik. Meskipun wajahnya tampak sangat lelah, senyumnya terus mekar saat rambut bayinya dipotong.

“Selanjutnya, Niam kan, yang akan beranak?” canda seorang bibi dari keluarga Mak Siti. Dia mencolek lengan Niam dengan ekspresi iseng yang menyebalkan. “Kapan, Am? Jangan lama-lama, nanti keburu tua.”

Niam tidak mengerti, mengapa bibi satu itu malah bertanya kapan dia akan beranak sebelum bertanya hal yang lebih penting; kapan dia akan menikah? Bukankah segala sesuatu di dunia ini ada urutannya? 

Meski begitu, dengan senyum manis Niam menjawab, “Doakan saja, Bu.”

“Kau anak Mak Rosa yang paling tua, kan? Cepatlah menikah. Nanti adik-adikmu jadi terhalang kalau kau tidak kunjung kawin,” ujar bibi itu lagi. “Berapa umurmu sekarang, Niam?”

“Delapan belas,” jawab Niam pelan. Berbanding terbalik dengan suara wanita yang sibuk merecokinya. 

“Ya ampun! Di umur segitu saya sudah punya anak satu!” pekik bibi itu. Beliau menepuk jidatnya, seolah tidak habis pikir.

Niam senyum-senyum saja. Dia tidak tahu lagi harus menjawab apa. Mau didebat pun, bibi itu sedikit benar. Soalnya, hampir seluruh teman-teman Niam yang perempuan sudah pada menikah tahun lalu. Hanya tersisa dia dan beberapa orang yang dianggap “kurang beruntung”. Padahal di umur delapan belas, teman laki-lakinya masih bebas melakukan hal-hal baru untuk mengisi masa muda mereka. Entah itu menuntut ilmu, merantau, berpetualang, atau bersenang-senang. Sedangkan di usia yang sama para wanita dianggap perawan tua jika belum bersuami. Karenanya, banyak wanita-wanita muda yang terpaksa menikah dengan laki-laki yang dua kali lipat umurnya. Terkadang, mereka rida dijadikan istri kedua hanya demi menyandang status pernikahan itu, agar tidak dipandang aib di kampung. 

“Saya jadi teringat, ada seorang laki-laki dari kampung sebelah yang gagal dijodohkan dengan Bunga. Bagaimana kalau dijodohkan dengan Niam saja?” usul seorang bibi yang lain. Entah siapa itu Bunga. “Biar nanti kubicarakan dengan Rosa. Dia pasti akan setuju.”

“Siapa?” tanya bibi cerewet yang pertama.

“Sudirman. Anaknya Datuak6.”

“Oh, aku tahu anak itu. Pintar katanya. Calon guru.”

Pembicaraan itu terus berlanjut tanpa melibatkan Niam. Padahal dia dengar semuanya. Dia pula yang menjadi topik obrolan. Tetapi tidak ada yang peduli dengan pendapatnya. Dalam hal pengambilan keputusan, wanita berusia delapan belas tahun itu masih dianggap terlalu muda sehingga dia tidak perlu ikut bersuara. Sedangkan dalam hal menikah, dia dikasihani, dianggap tidak laku, dan perawan tua.


***


Sepucuk surat dari laki-laki bernama Sudirman itu sampai ke tangan Niam dua minggu setelah akikah anak Kak Elisa. Amak yang menerimanya dari tukang pos. Senyumnya sangat semringah saat tahu siapa pengirim surat itu. Karena meskipun Amak belum melihatnya secara langsung, dia sudah banyak mendengar hal-hal baik tentang Sudirman dari kerabat Mak Siti. Secara diam-diam, mereka menjalin berkomunikasi untuk membahas rencana perjodohan Sudirman dan Niam dengan matang.

“Surat untuk kau,” kata Amak. Wajahnya berseri-seri. Beliau tidak beranjak dari sisi Niam pun tidak memberikan penjelasan. Dengan gestur kecil, dia memberikan perintah pada anak gadisnya itu untuk cepat-cepat membacanya.

“Dari siapa, Mak?” tanya Niam, bingung. Dia baru saja terbangun dari tidur siangnya saat Amak masuk ke kamarnya dengan surat itu.

“Buka dulu amplopnya. Nanti kau akan tahu.”

Niam menurut. Dengan hati-hati, dia merobek amplop coklat yang dibubuhi prangko bergambar Burung Cendrawasih itu. Tidak ada nama pengirim yang tertera di sana. Hanya ada alamat rumah Niam yang ditulis dengan sangat rapi, berikut peruntukannya; Untuk Dik Niam.

Belum apa-apa, kata Dik itu sudah membuat Niam merinding. Tetapi kemudian dia lebih ngeri lagi saat membaca isi suratnya.


Teruntuk Dik Niam,

Di Tempat.


Semoga kau dalam keadaan sehat sentosa.

Perkenalkan, namaku Sudirman. Entah kau sudah mendengar perihal tentangku atau belum, aku tidak tahu. Tetapi tampaknya keluarga Mak Siti tengah berupaya menjodohkan kita. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk mengirimkan surat padamu.

Yang perlu kau ketahui sebelum bertemu denganku, Dik Niam, aku adalah laki-laki yang baik. Meskipun hubungan ini bermula dari akal-akalan kerabat Mak Siti, aku tidak keberatan untuk coba menjalin hubungan denganmu. Aku harap kau pun memiliki perasaan yang sama.

Sudikah kiranya kau berkenalan lebih jauh denganku?


Dari Sudirman


Lihat selengkapnya