Padang, 2000
Sudirman tampak marah. Meski begitu, dia menelan bulat-bulat gejolak emosinya agar tidak tersembur dengan kasar di muka Marni–anak ketiga mereka–.
Marni sudah dua hari mengurung diri di kamar. Pintu kamar itu dia kunci dari dalam sehingga suami dan anaknya tidak dapat masuk. Saat siang, dia menghabiskan waktu bergulung di balik selimut, menolak bicara pada siapapun yang memintanya keluar. Di malam hari, semua orang yang berada di rumah itu bisa mendengarnya tergugu. Tidak jarang dia melolong seperti kesakitan, diiringi isak tangis dan kata-kata penyesalan yang sukar untuk dipahami. Dia membiarkan dirinya kelaparan dan hanya bertahan dengan meminum air keran, karena menurutnya hal itu lebih baik daripada melihat wajah Ilyas–suaminya–.
Hari ini, kesabaran Sudirman habis. Dia lelah melihat sikap Marni yang menurutnya sudah kelewatan. Dia tidak hanya mengabaikan Ilyas, tetapi juga anaknya–Orin– yang baru berusia empat tahun. Jadi sekuat tenaga, pintu kamar Marni dia gedor agar wanita itu keluar. “Jika kau tidak keluar sekarang, Papa dobrak pintu ini!” ancam Sudirman dengan suara tegas. “Kau lihat saja ya Marni! Ayo coba buat Papa lebih marah dari ini!”
Niam mendekap Orin erat-erat. Kedua tangannya dia gunakan untuk menutup telinga cucunya itu, khawatir kemarahan Sudirman membuatnya ngeri. Tetapi Orin sudah terlalu sering menyaksikan drama hubungan orang tuanya. Teriakan itu bukanlah hal yang baru baginya. Wajahnya tetap saja datar meskipun semua orang tengah menatapnya dengan prihatin.
“Jangan terlalu keras pada Marni…,” bisik Niam, berusaha menenangkan Sudirman. Tetapi Sudirman sudah kepalang marah. Dia mengindahkan kata-kata istrinya itu. Niam lantas melirik Ilyas yang tengah duduk tertunduk di sudut ruangan. Dia berharap laki-laki itu ikut bersuara, membujuk Marni agar mau keluar. Sayang, kodenya tidak tersampaikan. Pun Ilyas tidak memiliki inisiatif itu.
Marni akhirnya membuka pintu. Wajahnya tampak kusut dan sembab. Secara keseluruhan penampilannya begitu berantakan. Kedua pipinya mulai tirus sehingga kerudungnya terlihat longgar. Dia mulai menangis lagi saat melihat wajah ayahnya.
“Apa-apaan kau, mengurung diri di kamar begitu? Tidak makan, tidak minum, kau mau mati? Kau mau aku kubur?!” bentak Sudirman. “Kau bermasalah dengan suamimu, tapi yang ikut kau abaikan itu anakmu! Lupakah kau dengan peranmu sebagai ibu?” Dia menunjuk-nunjuk Orin.
“Marni muak!” pekik Marni, histeris. Dia kembali terisak-isak, lalu terjatuh bersujud di kaki Sudirman. “Marni muak, Pa! Maaf, Marni sudah tidak sanggup….”
Sudirman melunak. Hatinya teriris melihat putri yang dibesarkannya dengan penuh kasih jadi hancur begitu. Dia lalu meraih lengan Marni agar wanita itu kembali berdiri, kemudian dia tuntun ke sofa.
“Ada apa, Marni? Bicaralah dengan Papa,” kata Sudirman sambil mengusap-usap bahu Marni dengan lembut. Sekeras mungkin dia berusaha agar terdengar tidak menghakimi. “Siapa tahu, Papa bisa membantumu. Katakanlah, apa yang membuatmu begini?”
Marni kesulitan bicara. Tangisnya sudah terlalu dahsyat sehingga lidahnya jadi kelu. Dengan tertatih dia bilang, “Ma…, Marni benci dengan Bang Ilyas. Tidak mau lagi, Pa. Tidak mau huhuhu….”
Tangisan Marni membuat dada Niam sesak sehingga dia enggan mendekat. Dia takut air matanya ikut tumpah dan memperkeruh suasana yang sudah keruh. Jadi dia berbisik pada Orin, “Pergilah, pegang tangan bundamu biar dia tenang.”
Orin menengadah, menatap wajah neneknya itu dengan enggan. “Tidak mau,” jawab bibir kecilnya. Wajahnya tetap saja datar.
“Kau takut pada bundamu?” tanya Niam.
Orin mengangguk. “Dia seperti kesurupan.”
“Astagfirullah…,” desis Niam. Dia mengusap dadanya sendiri. Sejurus kemudian dia sadar, tidak seharusnya anak sekecil itu dia suruh ikut terlibat. Malah, sejak awal tidak seharusnya Orin ada di lokasi itu.
Masalah yang terjadi di antara Marni dan Ilyas selalu saja sama. Tidak ada yang baru. Tetapi gebrakan drama di antara keduanya mampu membuat Niam was-was. Dia takut kalau sewaktu-waktu anaknya itu bunuh diri karena tidak mampu meredam amarah dan keputusasaan yang menghantuinya. Begitu juga dengan menantunya. Niam takut sewaktu-waktu pria itu akan pergi dari rumah, lalu tidak mau kembali lagi.
Di antara keempat anak-anak Niam dan Sudirman, pernikahan Marni lah yang paling berantakan. Padahal anak ketiganya itu yang menikah paling tepat waktu, bersama dengan pacar yang sangat dicintainya pula.
Ya, cinta. Setidaknya dulu mereka menikah karena saling cinta.
Berbeda dengan Marni yang menikah di usia dua puluh lima tahun, kedua kakak dan adiknya baru menikah di umur tiga puluhan. Itu pun karena dijodohkan Niam. Makanya, di logika Niam, seharusnya Marni lah yang paling bahagia dalam pernikahannya. Bukannya malah yang paling sengsara.
Ilyas–suami Marni– tidak lagi bekerja. Dia diberhentikan dari perusahaan lamanya dua tahun yang lalu akibat krisis ekonomi sembilan delapan. Saat itu Orin masih berusia dua tahun. Setelah itu, entah apa yang membuatnya berhenti berusaha, dia tidak lagi tergerak untuk mencari pekerjaan baru. Sedangkan Marni hanya seorang ibu rumah tangga. Keluarga mereka lantas tidak memiliki pemasukan dan hanya bertahan hidup dengan menumpang pada Niam dan Sudirman.
Setahun pertama sejak Ilyas berhenti bekerja, Marni masih maklum. Meskipun hidup mereka mulai susah, hubungan mereka masih hangat. Tetapi memasuki tahun kedua, wanita itu mulai kehilangan akal. Kebutuhan mereka semakin banyak seiring dengan pertumbuhan Orin, sedangkan tabungan sudah terkuras habis. Mereka terpaksa meninggalkan rumah kontrakannya dan menumpang di kamar kosong di rumah Niam. Ilyas juga bukannya mencari pekerjaan, malah menghabiskan waktu berleyeh-leyeh di rumah orang tuanya. Dia selalu pergi ke sana selepas sarapan dan kembali ke rumah Niam selepas isya.
Mulanya Marni mengira suaminya itu keluar rumah setiap hari untuk mencari pekerjaan. Sedikit harapan tumbuh di hatinya. Tetapi kemudian dia tahu kalau laki-laki itu hanya tidur-tiduran dan merokok saja di rumah orang tuanya untuk membunuh waktu. Tidak ada lamaran yang disebar. Tidak ada usaha melirik kolom lowongan di koran. Di sanalah Marni mulai murka.
Mereka mulai sering cekcok dan membuat bising. Para tetangga yang mendengar keributan itu kerap bertanya pada Niam, ada apa dengan anaknya? Dan guna menutupi aib rumah tangga itu, Niam hanya tersenyum sembari menjawab, “Tidak ada apa-apa.”
Biasanya, kala keributan Marni dan Ilyas memuncak, Rochmat–anak pertama Niam– akan turun tangan. Sebagai kakak dari Marni dan mamak dari Orin, dia merasa ikut bertanggung jawab dengan urusan rumah tangga adiknya. Dia akan langsung datang setelah Niam menelepon meskipun rumahnya ada di perbatasan Padang-Pariaman.