Padang, 2013
Di rumah yang disebut Niam sudah serupa rumah gadang itu, ada sepuluh kepala. Niam dan Sudirman, tentu saja. Setelah itu ada keluarga Rukshah–anak kedua Niam– yang terdiri dari Dodi–suaminya–, beserta kedua anak mereka Wahid dan Tria. Lalu ada Marni dan Ilyas beserta anak mereka; Orin dan Geri. Untung saja anak sulung Niam yang bernama Rochmat dan si bungsu yang bernama Ema tinggal di rumah masing-masing. Kalau tidak, pastilah Rumah Gadang Niam itu meledak saking ramainya.
Sejak masih gadis, garis waktu dalam kehidupan Rukshah dan Marni selalu berbarengan. Meskipun umurnya bertaut dua tahun, mereka masuk sekolah di tahun yang sama karena Rukshah sempat menunda sekolah akibat masalah kesehatan. Selepas lulus kuliah, mereka menikah di bulan dan tahun yang sama, lalu memiliki masa kehamilan yang sama. Wahid dan Orin seumuran. Geri adiknya Orin pun seumuran dengan almarhum Dwi, anak kedua Rukshah yang meninggal dunia saat masih kecil. Sayang, kemudian Marni divonis dokter untuk tidak boleh hamil lagi selepas melahirkan Geri untuk menghindari komplikasi kehamilan, sehingga Rukshah hamil anak ketiga sendirian. Anak ketiga itu lalu dinamakan Tria.
Dua pasang cucu dalam satu atap seharusnya membuat rumah semarak. Namun rupanya keempat cucu Niam itu berbeda semua kepribadiannya. Mereka tidak kompak selain untuk urusan menyerbu durian yang dibawakan Sudirman dari kampung. Orin anak yang ambisius dan keras kepala. Dia mau mengatur semuanya. Seringkali keinginannya itu terhalang faktor gender, karena di mata Niam hendaklah Wahid sebagai laki-laki yang memimpin. Sementara Wahid memiliki dunianya sendiri. Dia hidup seperti jelangkung di dalam rumah. Tidak ada yang tahu kapan dia masuk dan kapan dia keluar. Dia tidak terlalu pintar belajar seperti Orin, sehingga sewaktu SD terpaksa tinggal kelas sekali. Jadi Orin lulus sekolah lebih dulu darinya. Geri adalah laki-laki yang cengeng dan tidak punya pendirian. Dia selalu berkaca pada Orin dan seringkali membuat Orin gemas. Sedangkan Tria anak yang aktif. Dia suka bergaul dan memiliki banyak teman. Karenanya, dia lebih sering berada di luar rumah.
Pernah sekali, saat Orin dan Niam menonton televisi di sore hari, gadis itu berceletuk, “Rumah ini sangat tidak ideal. Ada tiga kepala rumah tangga di dalamnya. Terlalu banyak manusia dalam satu atap.”
“Justru semakin ramai semakin seru,” sahut Niam.
“Dalam Islam saja, dianjurkan untuk berpisah rumah dengan mertua setelah menikah. Mengapa Nenek menerapkan kebalikannya?” tukas Orin. Lagi-lagi dia dan pemikirannya yang kontradiktif dengan Niam. “Saat dulu Tante Rukshah dan Om Dodi tinggal di rumah mereka sendiri, mengapa Nenek mengajak mereka kembali ke rumah ini?”
“Waktu itu kakekmu sakit keras. Nenek butuh bantuan Rukshah untuk merawatnya,” jawab Niam.
“Lalu mengapa mereka jadi menetap selamanya?”
“Kau tidak berhak mengusir mereka, Orin. Ini bukan rumahmu.”
“Waktu aku kecil, aku ingat keluargaku tidak tinggal di sini.”
“Kalau itu beda cerita. Ayahmu tidak sanggup lagi membayar sewa, jadi kalian terpaksa pindah ke sini.”
Orin menghela napas. “Mengapa Nenek selalu menjelek-jelekkan Ayah dibelakang, tetapi tetap melayani bak raja di depannya?”
“Nenek tidak menjelek-jelekkannya!” bantah Niam.
“Bukan sekarang. Maksudku kemarin-kemarin….”
Niam mengusap keningnya. Terkadang dia tidak mengerti apa tujuan dari pertanyaan yang ditodongkan Orin padanya. Anak itu suka bicara melompat-melompat dan penuh sarat. Tampaknya buku-buku yang dia baca telah menggerogoti otaknya.
“Kau benci dengan ayahmu?” tanya Niam kemudian.
“Tidak,” jawab Orin. “Mana mungkin bisa benci dengan ayah sendiri.”
“Lalu mengapa kau selalu mempertanyakan kedudukannya di rumah ini?”
“Karena aneh saja. Secara objektif, beliau jelas salah sebagai suami. Tetapi tidak ada yang memarahinya. Paling-paling cuma Kakek. Itupun kena sanggah oleh Nenek,” jelas Orin. Dia lalu menopang dagunya dengan tangan. “Aku masih tidak mengerti. Mengapa Nenek selalu membantunya? Kalau memang beliau tidak sanggup bayar sewa rumah, mengapa tidak dibiarkan berdarah-darah dulu mencari uang dibanding langsung menampungnya?”
“Nenek hanya mencoba menghormatinya sebagai sumando,” jawab Niam. “Dia adalah tamu yang harus ditinggikan.”
“Tamu juga bisa diusir bila tidak hidup dengan baik di rumah yang menampungnya.”
“Astagfirullah, Orin! Jaga ucapanmu!”
Orin memutar bola matanya. Sedangkan Niam mulai menasihatinya soal berbakti pada orang tua.
Niam ingat betul, dulu situasi Ilyas sedikit mirip dengan abaknya. Saat Abak rujuk dengan Mak Siti, ekonomi keluarga terguncang. Munculnya toko-toko pakaian grosir membuat dagangan Abak tidak laku. Karenanya, Abak jadi malas berdagang. Beliau lebih sering menghabiskan waktu di rumah dengan sebatang rokok dan segelas kopi hitam. Entah itu di rumah Mak Siti atau di rumah Amak. Menurutnya, percuma saja capek-capek menarik pedati ke balai, kalau balai itu penuh dengan toko baru. Tetapi tidak ada yang keberatan dengan hal itu. Tidak ada yang mempertanyakan soal uang yang semakin menipis pada Abak. Istri-istrinya justru berinisiatif membantu–Mak Siti membuka warung lotek dan Amak mulai berjualan kerupuk di teras rumah. Pun keluarga dari pihak istri-istrinya tidak ada yang menganggap Abak gagal. Mereka tetap menaruh hormat dan meninggikannya.
Hal itulah yang kemudian terus diserap Niam. Dia percaya, dengan memperlakukan sumando-nya penuh hormat seperti dulu abaknya diperlakukan, rumahnya akan tetap harmonis. Semua orang akan tetap bahagia dan menjalankan perannya masing-masing.