Padang, 2013
Bak bunga, Tria mekar seperti melati. Keindahan dan harumnya membuat orang betah berada di sekitarnya. Dia polos dan bersih. Jarang sekali ada pikiran buruk terlintas di kepalanya. Dan semua kesucian itu tercermin dalam perilakunya. Sedangkan Orin mekar seperti mawar yang indah. Dan tentu saja bersama keindahan itu terdapat duri yang tajam. Dia sukar untuk didekati. Tetapi bersama kesukaran itu, ada beberapa serangga yang terus berjuang meraihnya, menganggap dekat dengannya adalah sebuah trofi kemenangan.
Di usia tujuh belas dan lima belas tahun, kedua gadis itu mulai mengenal cinta. Mereka mulai bergaul dengan laki-laki di sekolahnya. Tria yang elok laku sudah punya pacar. Pacarnya adalah seorang anak dari gang sebelah yang juga terkenal baik. Tidak ada yang memusingkan hubungan mereka. Sedangkan Orin memilih memanfaatkan perasaan para pria yang menaruh hati padanya. Dia miskin dan harus memilih antara makan siang di kantin sekolah atau pulang dengan angkot. Jadi agar bisa makan, maka dia manfaatkan seorang laki-laki yang memiliki mobil untuk mengantarnya pulang. Di hari ulang tahunnya, di mana kedua orang tuanya tidak mampu membelikan kue, laki-laki lain memberikannya kue tar. Jika ada acara di rumah teman, maka seorang pria bermotor yang membawanya pulang.
Silih bergantinya laki-laki yang membawa Orin sampai ke gerbang rumah membuat para tetangga mulai berbisik. Mereka mulai menyebut Orin gadis murahan yang bermain-main dengan lawan jenis. Kemudian mereka kaitkan dengan Niam yang aktif di masjid. “Bagaimana bisa neneknya begitu saleh, tetapi cucunya malah tidak beradab begitu?” tanya mereka di forum rumpi.
“Setiap hari, berbeda laki-laki yang mengantarnya. Coba pikir, apa yang dia lakukan dengan para laki-laki itu?”
“Sudah jelas, lah! Apa lagi?”
“Apa dia memacari mereka semua?”
“Tidak beradab.”
“Menjijikkan.”
“Keluarganya tidak ada yang bertindak. Apa mereka sudah menyerah membesarkannya?”
“Begitulah anak dari orang tua yang suka ribut.”
Dan masih banyak lagi.
Suatu hari, akhirnya forum itu sampai juga ke Niam. Dalam perjalanan pulang selepas salat zuhur di masjid, Niam dicegat. Mereka mendesak Niam untuk mendisiplinkan cucunya itu karena takut membawa pengaruh buruk. Apalagi Niam seorang hajah, tidak seharusnya perilaku sang cucu mencoreng gelarnya itu.
“Daripada sibuk mengurus kakakku, lebih baik Oma urus saja cucu Oma yang kemarin kabur dengan pacarnya itu,” celetuk Geri yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Niam. Dia baru pulang sekolah. “Kakakku gadis baik-baik. Prestasinya bagus di sekolah. Tidak seperti cucu Oma yang nyaris tinggal kelas.”
“Astagfirullah! Lancang!” pekik si Oma.
Geri melangkah pergi sebelum sempat para tetangga menceramahinya. Dia gandeng tangan Niam agar neneknya bisa terbebas dari forum gosip yang memuakkan itu.
“Geri, tidak seharusnya kau berkata begitu pada orang tua,” desis Niam sambil tertunduk. Hatinya jadi tidak enak.
“Kata Kak Orin, kita hanya perlu hormat pada orang-orang yang layak dihormati,” jawab Geri. “Orang yang suka bergosip tanpa mengecek fakta adalah salah satu orang yang tidak perlu diberi hormat.”
“Kau selalu menurut pada kakakmu itu, ya? Bagaimana kalau dia menuntunmu ke arah yang salah?”
“Nek Niam percaya dengan gosip tetangga barusan?” selidik Geri.
“Bukan begitu…,” desis Niam. “Tetapi terkadang, kakakmu sedikit sulit untuk Nenek pahami. Dia terlalu aneh.”
“Dia tidak aneh. Nenek hanya terlalu takut dengan perubahan,” ujar Geri. Mereka telah sampai di rumah. “Zaman sudah berganti, Nek. Sekarang, anak muda tidak takut membela dirinya atas sesuatu yang benar.”
Malamnya, Geri menceritakan hal itu pada Orin. Dia membanggakan dirinya berulang kali, kalau dia berhasil membuat Oma Tukang Gosip terdiam. Kemudian atas usahanya itu, dia mendapatkan jempol dari Orin.