Rumah Gadang Nek Niam

Annsilly Junisa
Chapter #7

Usaha Melarikan Diri

Padang, 2014


Ilyas keluar dari rumah Niam.

Setelah cekcok besar pada suatu malam, Marni melempar baju-baju Ilyas ke luar kamar. Hal itu membuat harga diri Ilyas tercoreng sehingga dikemasnya baju-baju yang dibuang Marni itu, lalu dia pergi dari rumah tanpa memberikan penjelasan pada siapapun.

Lagi-lagi masalahnya masih saja sama. Ilyas masih saja menjadi benalu dalam rumah Niam. Dia tidak berubah barang sedikit. Janji-janjinya pada Marni yang terucap saat mereka ribut hanyalah sekadar angin lalu. Tidak ada satupun yang berhasil terwujud. Dia tetap saja laki-laki malas yang enggan mencari pekerjaan.

Anehnya, setelah Ilyas pergi dari rumah, Marni malah tampak segar dan bersemangat. Dia tidak lagi mengurung diri di kamar. Dengan sedikit uang dari Rochmat sebagai modal, dia mulai membuat makanan–entah itu kue atau lauk pauk– dan menjualnya pada teman-teman sekolahnya. Masakan Marni enak, sehingga beberapa orang yang sudah mencicipi kuenya mulai memesan dalam jumlah banyak untuk menjadi konsumsi acara mereka. Ada juga teman yang rutin memesan lauk pada Marni untuk konsumsi pribadi. Dapurnya jadi mengepul terus. Dia mulai menghasilkan uangnya sendiri. 

“Seharusnya dari dulu kau begini, Marni,” ujar Sudirman di suatu pagi, saat dia menjajaki dapur Marni. “Bukankah produktif begini lebih baik dibandingkan kau berdiam diri dan menangis di kamar?”

“Iya, Pa. Aku menyesal,” sahut Marni.

“Lanjutkan, ya.”

Marni mengangguk.

Sebulan dua bulan, tidak ada yang menanyakan kabar Ilyas. Bisa dikatakan tidak ada yang peduli dengan kepergiannya. Pun Orin dan Geri, semuanya diam dan menerima keadaan. Bagi mereka, melihat bundanya sibuk di dapur sudah cukup melegakan. Setidaknya tidak ada keributan yang membuat telinga pekak.

Orin sudah duduk di kelas tiga SMA. Dia mulai sibuk belajar untuk seleksi perguruan tinggi. Jadwal sekolahnya menjadi sangat padat karena ada tambahan kelas untuk murid kelas tiga. Biasanya dia baru akan pulang ke rumah menjelang magrib, lalu lanjut belajar lagi sampai larut selepas makan malam.

Geri pun sibuk. Dia menemukan gim baru yang membuatnya terobsesi. Karenanya, sejak pulang sekolah sampai larut, dia berkutat di depan komputernya. Telinganya selalu ditutup headset. Dia tidak peduli pada dunia selain gim itu.

Kedua anak itu tidak ada yang pernah menanyakan kabar ayahnya, sehingga mungkin menjadi tanda tanya bagi Ilyas. Pada suatu pagi, laki-laki itu kembali muncul di halaman rumah Niam. Tetapi dia enggan masuk ke dalam rumah. Rupanya dia hanya menunggu Orin dan Geri keluar untuk berangkat sekolah.

“Lho, Ayah?” tunjuk Geri saat melihat sosok Ilyas. Dengan santai, dia melangkah ke arah Ilyas, lalu mencium tangannya. “Aku berangkat dulu ya, Yah.”

“Hm? Kau langsung ke sekolah?” tanya Ilyas.

“Iya. Kalau tidak berangkat sekarang, aku bisa terlambat.”

“Mau Ayah antar?”

“Tidak usah. Ayah antar Kak Orin saja.”

“Oh, baiklah.”

Geri pun berlalu.

Sejenak kemudian, selepas kepergian Geri, Orin muncul. Wajahnya sama datarnya dengan Geri saat melihat Ilyas. Tidak ada reaksi kaget yang berlebih, seperti yang diharapkan laki-laki itu.

“Biar Ayah antar ke sekolah, ya?” tawar Ilyas pada Orin.

Orin tampak berkontemplasi sebentar, sebelum akhirnya mengiyakan. Dengan canggung, dia naik ke boncengan motor Ilyas. 

Setengah perjalanan mereka habiskan dengan diam-diaman. Baru setelah memasuki setengah perjalanan berikutnya, Ilyas angkat bicara. “Kau tidak bertanya, mengapa Ayah tidak di rumah?”

“Semua orang sudah tahu jawabannya,” sahut Orin kalem.

“Kau tidak masalah?”

“Aku tidak mau ikut campur.”

Lihat selengkapnya