Rumah Gadang Nek Niam

Annsilly Junisa
Chapter #8

Kepulangan

Padang, 1967


Rochmat baru saja lahir ke dunia saat kakeknya dipanggil Tuhan.

Abak Niam meninggal dunia tepat dua tahun setelah menikahkannya dengan Sudirman. Masih ada delapan adiknya yang belum dinikahkan Abak. Nantinya jika gadis-gadis itu menikah, terpaksa Abak digantikan oleh mamak atau wali lainnya. 

Kematian Abak meninggalkan duka yang dalam pada kedua istrinya, Mak Siti dan Mak Rosa. Mereka berdua setia di sisi Abak sejak lelaki tua itu mulai sakit keras. Mereka bergantian merawat dan memandikannya. Niam dan anak-anak Abak yang lain bahkan tidak diberi kesempatan untuk merawat ayahnya. Sungguh kesetiaan yang luar biasa, dua wanita yang dimadu itu.

Sebelum Abak meninggal, beliau pernah berbincang dengan Niam soal perannya sebagai seorang ibu. Kalau Niam tidak salah ingat, momen itu terjadi dua hari setelah Rochmat lahir, saat Abak menjenguknya.

Abak bilang, “Karena kau sudah jadi ibu, kau harus satu hal. Peranmu adalah menjadi lem dalam rumahmu. Kau yang merekatkan anak dan suamimu. Keberadaanmu yang membuat mereka betah di rumah.”

“Bagaimana caranya aku bisa menjadi lem yang kuat, Bak?” tanya Niam yang masih terbaring di kasur. Bekas jahitannya masih basah.

“Berkacalah pada amakmu. Lihat bagaimana dia melimpahkan kasih sayang yang adil padamu dan adik-adikmu,” jawab Abak.

Niam mengangguk-angguk.

“Pasti tidak akan mudah. Tetapi Abak tahu kau bisa.”

“Sungguh?”

“Ya. Kau kan, anak perempuan Abak yang paling kuat.”

Niam tersenyum. Hari itu Abak mengusap kepalanya dengan penuh kasih. Padahal biasanya jarang sekali laki-laki itu menunjukkan afeksi berupa kontak fisik. Tetapi rupanya itu adalah sentuhan perpisahan Abak. Laki-laki tua itu lantas menghembuskan napas terakhirnya dua hari kemudian. Abak sudah sakit-sakitan lama dan menjadi sehat bugar sehari saja untuk mengucapkan salam terakhir pada Niam. 

Niam menangis dengan hebat saat tanah mulai menimbun Abak. Dia masih kepayahan pasca melahirkan. Tetapi dipaksakannya tubuh ringkih itu naik pedati ke Limau Puruik guna mengantarkan abaknya ke tempat peristirahatan terakhir.

Selepas ditinggal Abak, hubungan Niam dengan kakak-kakak tirinya menjadi renggang. Mereka tidak lagi saling bertukar kabar. Begitu juga Amak dan Mak Siti, seolah tidak ada lagi yang menghubungkan mereka berdua.

Rupanya tidak hanya Amak yang menjadi lem perekat, Abak juga begitu. Dia yang membuat hubungan dua keluarganya terjalin dengan baik. Makanya setelah Abak pergi, dua keluarga itu kehilangan alasan untuk terus terhubung. Hal itu diam-diam membuat Niam sedih. Walaupun dia sering kali merasa keluarga Mak Siti ikut campur dengan urusannya, tetap saja mereka berjasa besar mempertemukannya dengan Sudirman. Tetapi kini mereka mulai asing. Niam pun enggan untuk menghubungi duluan.

Kemudian, meskipun tanpa Abak, hidup terus berjalan. 


***


Padang, 2014


Kondisi Sudirman saat ini mengingatkan Niam pada saat-saat di mana abaknya dulu sakit sebelum meninggal. Penyakit mereka pun sama. Sesak napas dan batuk berdarah. Kata dokter, suaminya itu diserang tumor ganas paru-paru. Selama ini batuknya hanya dianggap batuk biasa dan tidak pernah diperiksakan, sehingga tahu-tahu sudah stadium empat.

Kini Sudirman hanya bisa terbaring lemas di tempat tidur. Dia menolak pengobatan dan memilih mengendap di rumah saja dengan penyakitnya yang mengkhawatirkan itu. Lalu karena kondisinya tiba-tiba semakin buruk, anak-anak dan menantunya pun berkumpul di rumah, termasuk Ilyas. Mereka semua mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.

Orin juga sedih melihat kondisi kakeknya. Padahal dua bulan yang lalu, lelaki tua itu masih sehat-sehat saja. Beliau masih bisa memarahinya karena bertemu dengan ayahnya yang kabur dari rumah itu. Mengapa kini tiba-tiba kakeknya itu ambruk? Apakah itu azab karena telah memecah belah hubungan anak dan ayah? Tetapi kan, hubungan itu sudah retak duluan sebelum kakeknya ikut campur?

Kini Sudirman memanggil anak dan menantunya satu per satu ke dalam kamar. Mereka yang dipanggil selalu keluar dengan mata sembab dan tangis yang belum usai. Lantas tibalah giliran Marni. Berbeda dengan kakak-kakaknya, dia dipanggil menghadap Sudirman berdua dengan Ilyas.

Dengan diselimuti gumpalan rasa takut, canggung, dan iba, dua orang itu masuk ke kamar Sudirman ditemani Niam. Sudirman yang terbaring lemah menyambut mereka dengan tatapan sayang yang tidak pernah diperlihatkannya sehingga Marni langsung saja menangis. Belum apa-apa, suara isakannya sudah membuat perasaan orang-orang yang menunggu di luar kamar tidak enak–termasuk Orin–. 

“Umur Papa tampaknya tidak lama lagi, Marni,” desis Sudirman sambil berupaya meraih pipi anaknya itu. “Kau jangan menangis terus….”

“Mengapa Papa bicara begitu?” isak Marni. “Aku banyak salah, Pa. Jangan tinggalkan aku!”

“Sebelum Papa mati, Papa ingin hubunganmu dan Ilyas jelas dulu. Apakah kalian masih ingin bersama, atau kalian ingin berpisah? Kalian tidak bisa menggantung hal ini lebih lama lagi. Nanti Papa tidak tenang di alam kubur.”

“Papa jangan bicara seperti akan mati begitu,” ujar Ilyas. Dia ikut berlutut di sisi tempat tidur bersama Marni. “Maafkan aku, Pa. Aku sudah mengecewakanmu berkali-kali.”

“Kau belum menjawab pertanyaanku, Ilyas.”

Marni dan Ilyas saling lirik. Kemudian mereka berdua menangis–Marni yang sudah menangis duluan jadi menangis lebih keras–. 

“Kami tidak mau berpisah, Pa…,” isak Marni. “Kami akan berubah menjadi lebih baik. Kami janji. Karenanya, Papa harus tetap hidup untuk melihat perubahan kami.”

“Yakinkah kau, Marni? Sudahkah kau memaafkan Ilyas?” tanya Sudirman.

Marni mengangguk kencang.

Lihat selengkapnya