Rumah Gadang Nek Niam

Annsilly Junisa
Chapter #9

Keberangkatan

Padang, 2014


Marni mengerahkan seluruh tenaga dan koneksinya untuk mendapatkan uang guna membiayai keberangkatan Orin ke Jogja. Dia menjual lebih banyak kue dan lauk pauk, mencari informasi donatur beasiswa ikatan alumni sekolahnya, dan menghubungi beberapa teman terdekat yang bisa meminjamkan uang. Dia tampak bersungguh-sungguh ingin mengupayakan pendidikan Orin. 

Bagi Orin, hal itu sangat langka. Bundanya itu tidak pernah peduli padanya sebelum ini. Beliau selalu sibuk meratapi kesedihan dan kesialan hidupnya, terutama soal menikah dengan Ilyas. Orin dan Geri jadi tidak diperhatikan. Mereka tumbuh besar sendiri, mencari makan sendiri, jika tidak ada makan ya masak mi sendiri, menyelesaikan masalah sendiri, dan dewasa lebih awal sendiri.

Dari buku yang pernah Orin baca, penyebab pengabaian anak seperti yang dialaminya itu dikarenakan sang ibu tidak bahagia. Tabung kasih sayang bundanya tidak diisi dengan baik oleh ayahnya, sehingga bundanya tidak punya kapasitas untuk menuangkan kasih sayang pada anak-anaknya. Bak kata guru agamanya di suatu hari, laki-laki berperan sebagai nahkoda kapal dalam pernikahan. Sehingga jika nahkodanya tidak piawai, kapalnya akan terombang-ambing tidak tentu arah. Penumpangnya akan ketakutan dan merasa tidak aman. Lalu karamlah kapal itu. Makanya, penting sekali menikah dengan seorang nahkoda yang handal, yang pintar membawa kapal dan mencintaimu. Jika sudah cinta, maka dia akan mengupayakan apapun untuk membuatmu tetap hidup dan bahagia.

Niam memutuskan untuk tidak memberi tahu Marni dan Ilyas soal biaya kuliah Orin yang sudah aman. Dia ingin melihat anak dan menantunya itu berusaha dulu. Sejauh apa mereka akan berjuang untuk pendidikan cucunya.

“Jangan bilang-bilang soal uang ini pada bunda dan ayahmu, ya. Nanti mereka ongkang-ongkang kaki karena sudah tahu dana pendidikanmu aman,” pesan Niam pada Orin di sore itu. “Mereka harus didorong agar mau bergerak.”

“Ya, Nek,” sahut Orin, setuju.

Suatu hari, Marni memanggil Orin ke kamarnya. Dengan gestur terburu-buru, dia memerintahkan Orin untuk mandi dan berpakaian yang pantas. “Ada orang yang ingin bertemu denganmu,” ujarnya.

Orin tidak diberi kesempatan untuk bertanya, jadi dia terpaksa menurut. Sesuai perintah Marni, dia bergegas mandi dan memakai pakaian terbaiknya. Kemudian begitu keluar dari kamarnya, Marni yang sudah tampak rapi menyeretnya naik ke motor.

Rupanya Marni mengajak Orin ke sebuah rumah sakit. Di sana, dia memiliki seorang sahabat yang berprofesi sebagai dokter penyakit dalam. Namanya Dokter Tanti. Seorang wanita yang berwajah tenang dan teduh.

“Orin sudah besar sekali, ya,” gurau Dokter Tanti saat Orin menyalaminya.

Orin jadi berpikir, yang besar apanya? Badannya? Apa dia gendut?

“Pintar sekali kamu, Orin, bisa tembus masuk UGM. Doakan ya, anak Tante bisa berprestasi sepertimu juga,” ujar Dokter Tanti lagi.

“Hehe iya, Tante. Amin,” sahut Orin, kikuk.

Dokter Tanti lalu mempersilakan Marni dan Orin duduk di sofa yang tersedia di ruangannya. Selagi Marni dan Dokter Tanti berbasa-basi, Orin mengamati sekeliling. Dokter Tanti memiliki ruangan sendiri, artinya jabatannya sudah tinggi, pikir Orin.

Setelah setengah jam bicara ngalor-ngidul, Dokter Tanti mengeluarkan sebuah amplop dari saku jas putihnya. Amplop itu dia serahkan pada Marni. “Semoga sedikit banyak uang ini bisa membantu Orin,” ujarnya.

Marni menerimanya dengan tangan gemetar. Setelah itu, seperti biasa, dia menangis terisak-isak. Ucapan terima kasih yang dilontarkannya jadi terdengar samar karena tertutup suara tangisan.

“Te… terima ka… sih, huhuhu,” isak Marni. Wajahnya merah padam, entah karena apa. Bisa jadi karena senang, sedih, atau malu. Karena setahu Orin, bundanya itu memiliki harga diri setinggi langit. Menerima bantuan dari orang yang bukan keluarga pastilah sesuatu yang baru dan memalukan baginya. Tetapi semua itu terpaksa dilakukan agar anaknya bisa kuliah.

Amplop yang diberikan Dokter Tanti tampak tebal. Mungkin isinya sekitar sepuluh juta. Orin tidak tahu akad antara dua orang itu, apakah sedekah atau pinjaman. Apakah uang itu kelak harus diganti, atau tidak. Namun yang jelas, akad itu akan diwariskan padanya, berikut juga utang budi yang harus dia ingat seumur hidup.

“Kuliah yang rajin ya, Rin. Kelak setelah lulus, carilah pekerjaan yang bagus,” nasihat Dokter Tanti pada Orin yang diam mematung. “Semoga nantinya kamu bisa meringankan beban bundamu.”

“Terima kasih, Dok,” sahut Orin.

Tangisan Marni akhirnya reda. Dia sudah bisa diajak bicara dengan normal sehingga mengalir lagi percakapannya dengan Dokter Tanti. Mereka bernostalgia tentang masa sekolahnya, membicarakan teman-temannya, dan saling curhat perihal rumah tangga. Sedang Orin hanya membatu di tempat, sembari memasang sikap santun dan topeng senyum tipis di wajahnya.

Orin tidak ingin berada di situ, di ruangan itu. Tetapi demi masa depannya, demi wajah bundanya, dan demi hubungan baik antara anak dan orang tua, dia bertahan. Bahunya terasa berat sekali. Dia terus saja memikirkan utang budi yang baru saja ditimpakan ke bahunya. Tetapi saat dia merasa berat, dia jadi menyalahkan dirinya sendiri. Dasar anak tidak bersyukur! Maumu apa, sih? Bukankah kau ingin pergi jauh dari Rumah Gadang Nek Niam? Ini adalah jalan keluar untukmu, jadi terimalah. Mengapa kau malah merasa berat sendiri? gejolak hatinya. Dia lalu menggigit bibirnya agar tidak menangis.

Lihat selengkapnya