Yogyakarta, 2014
Orin melorot ke lantai sembari menyandar ke dinding kamar kosnya. Kemudian dia menghembuskan napas keras-keras, seolah dengan begitu masalah yang membebaninya bisa runtuh.
“Bisa, Rin, bisa!” serunya kemudian. Dia menepuk-nepuk pipinya dengan kedua tangan agar sadar. “Kamu terlalu cepat putus asa!”
Bertepatan dengan itu, ponselnya berdering. Dia mengeluarkan benda pemberian Rochmat itu dari kantong celananya–ya, tentu saja ponsel pintar itu dibelikan mamak-nya karena ayah dan bundanya tidak punya uang–. Ternyata telepon dari neneknya.
“Kau sedang apa?” tanya Niam begitu panggilannya dijawab Orin.
“Baru saja sampai rumah, Nek,” sahut Orin. Dia merebahkan badan ke kasur. Tangannya terangkat untuk menutupi silaunya cahaya lampu. “Sekarang sedang rebahan dulu, habis ini baru mandi.”
“Kok, jam sembilan malam baru pulang?” tanya Niam lagi. “Kau kan, perempuan. Apa kata tetanggamu kalau kau pulang malam-malam? Kau mau digosipkan lagi seperti waktu di Padang?”
Orin tertawa. “Di sini berbeda, Nek. Tidak ada gosip-gosip murahan seperti itu.”
“Kok, bisa?”
“Aku kan, tinggal di kawasan yang ramai dengan mahasiswa. Semua orang sibuk dengan kegiatan kampus. Banyak yang pulang lebih malam dari aku,” jelas Orin. “Justru aneh, kalau anak baru sepertiku pulangnya siang. Memangnya tidak ada kegiatan di kampus?”
“Kegiatan apa memangnya yang membuat mahasiswa pulang malam?” tanya Niam, penasaran. Dia tidak pernah kuliah, jadi tidak tahu.
“Macam-macam. Ada yang belajar kelompok, ada yang ikut unit kegiatan mahasiswa, ada yang mengaji di masjid kampus, ada juga yang rapat organisasi,” jawab Orin. Dia jadi semangat bercerita pada neneknya. “Di sini, semua orang punya banyak kesempatan untuk berkembang. Mau jadi apapun bisa, asal punya semangat dan inisiatif.”
“Kau ikut kegiatan apa?”
“Aku baru saja bergabung dengan BEM. Nenek tahu BEM? Badan Eksekutif Mahasiswa.”
“Yang suka demo di TV itu, ya? Aduh, Orin, janganlah kau ikut kegiatan-kegiatan yang berbahaya begitu. Kalau ditangkap polisi bagaimana?” Niam terdengar khawatir. “Kau ikut pengajian saja, biar semakin dekat dengan Allah. Mahasiswa zaman sekarang kan, banyak yang lupa salat. Jangan sampai kau ikut-ikutan.”
“Duh, demo-demo di TV itu cuma kalau ada masalah dengan pemerintah, Nek. Ada banyak hal yang bisa dipelajari di BEM. Cara berdiskusi dan bernegosiasi, cara bergaul, cara melakukan riset, cara membuat proyek-proyek sosial, dan cara memberikan kontribusi dalam masyarakat…. Banyak pokoknya. Dengan masuk BEM, aku jadi punya relasi yang luas. Aku bahkan kenal dengan senior yang bertahun-tahun di atasku,” cerita Orin.
“Seperti waktu kau ikut OSIS di SMA, ya?”
“Ya, betul.”
“Hmm, kalau begitu sih, bagus. Tapi tetap saja, kalau ada demo kau jangan ikut, ya!”
“Hahaha, kita lihat saja nanti.”
Nenek dan cucu itu tertawa bersama.
“Nek…,” panggil Orin kemudian. Suaranya sedikit lebih lesu. “Aku gagal lolos seleksi beasiswa yang kemarin aku ikuti. Jadi sepertinya, untuk uang kuliah semester dua, aku tetap harus minta Nenek. Maaf, ya.”
Niam menghela napas. “Kau tidak usah risau. Kan, sudah Nenek bilang, kakekmu sudah siapkan uangnya. Tugasmu hanya belajar dengan baik di sana.”
“Aku akan coba beasiswa yang lain,” kata Orin.
“Ya, pasti banyak kesempatan lain buat kau coba. Jangan patah arang karena gagal di percobaan pertama.”
Orin menganggukkan kepala, meskipun neneknya pasti tidak lihat. Bicara dengan Niam selalu menghangatkan hatinya.
“Meski begitu, Rin, ingat kata Nenek. Teruslah minta uang makan pada ayahmu, supaya dia tidak malas-malasan. Kau sudah dapat transferan darinya bulan ini?” tanya Niam.
“... Belum,” sahut Orin. Percakapan terakhirnya dengan sang ayah membuatnya kesal. Laki-laki itu naik darah saat Orin bertanya apa kesibukannya akhir-akhir ini. Apakah dia sudah dapat pekerjaan atau belum.
“Tidak usah kau tanya-tanya!” sahut Ilyas kala itu.
“Uangku sudah habis, Yah. Bisa tolong Ayah transfer sedikit untuk membeli makan?” pinta Orin.
“Ayah tidak punya uang. Minta saja pada nenekmu,” jawab Ilyas. Dia lalu memutus sambungan telepon. Tidak ada kata maaf. Tidak ada rasa bersalah. Tidak ada pertanyaan penuh kekhawatiran, apakah anaknya sudah makan atau belum.
Orin mendengar neneknya menghela napas dengan berat di telepon. Pasti saat ini wanita tua itu tengah memijat kepalanya. Kasihan sekali, dia.
“Mereka perang dingin lagi, Rin,” ujar Niam. “Pisah kamar lagi. Sekarang ayahmu tidur di kamar sebelah gudang.”
“Biarkan sajalah,” kata Orin. Itu bukan hal baru yang harus dikhawatirkan.
Niam tidak langsung menyahut. Dia terdiam sebentar, seolah tengah menimbang-nimbang sesuatu. Tetapi Orin sudah terlalu mengenal neneknya itu. Dia tahu Niam tengah resah atas sesuatu yang sulit untuk diucapkannya.
“Ada apa, Nek?” tanya Orin. “Tampaknya ada sesuatu yang Nenek pendam.”
“...”
“Tidak apa-apa, bicara saja. Apa aku sudah menjadi orang asing bagi Nenek karena jauh di Jogja? Mengapa Nenek enggan bercerita padaku?”
Niam mengepalkan tangannya. “Yang kali ini serius…,” desisnya.