Padang, akhir tahun 2014
Marni tampak gila.
Pagi-pagi pukul enam, dia membuka pintu kamar lalu menghempaskannya keras-keras, mengagetkan semua orang. Setelah itu dia mencuci piring dengan air bertekanan besar. Piring-piring dan gelas-gelas kotor itu dia hentakkan sampai bunyi kacanya gemerincing, membuat benda itu bisa saja pecah sewaktu-waktu.
Wajah Marni mengeras, melambangkan emosi yang tengah bergejolak dalam dirinya. Dia bahkan tidak terlihat seperti seorang Marni yang biasanya. Seolah ada jin yang tengah menguasai tubuh ringkih itu.
“Mengapa kau marah-marah?” tanya Niam yang baru saja keluar dari kamarnya. Dia menghampiri Marni ke dapur.
Marni diam saja. Dia tidak menghiraukan ibunya.
“Kau sudah bangunkan Geri? Anak itu belum turun dari kamarnya,” ujar Niam lagi. Dia mengindahkan mimik muka Marni yang tampak akan menerkam. Bagi Niam, sudah biasa anak tengahnya itu tampak seperti orang kesurupan. Bukan sesuatu yang baru.
Namun ternyata, pertanyaan Niam yang terakhir itulah yang kemudian menjadi gong bagi Marni. Dia lekas meninggalkan cucian piringnya. Dengan hentakan kaki yang keras, dia beranjak naik ke lantai dua, menuju kamar anak bungsunya. Kemudian di depan pintu kamar itu dia mulai berteriak, “Kau sama saja seperti ayahmu yang pemalas itu! Tidak punya masa depan! Bangun pagi saja sulit! Mengapa Bunda harus membangunkanmu setiap hari seolah kau tidak mampu bangun sendiri? Kau laki-laki, bukan?!”
Geri tersentak bangun. Matanya mengerjap-ngerjap sembari dia memilah apakah sosok bundanya yang mengerikan ini nyata atau mimpi. Tetapi sebelum dia sadar sepenuhnya, Marni sudah masuk ke kamar. Dengan gerakan yang begitu cepat, wanita itu menyambar ponsel Geri yang tergeletak di samping bantal, lalu melemparnya ke dinding.
“Ponsel ini kan, yang membuat kau jadi malas? Kau main game sampai larut di ponsel itu, tidak ada faedahnya. Lalu kau susah bangun pagi! Sholat subuh selalu saat langit sudah terang!” racau Marni.
Layar ponsel itu retak berderai. Geri sadar sepenuhnya karena hal itu. Amarahnya naik ke kepala. Karena, selain pada orang yang sedang makan, hendaklah jangan membahas perkara pada orang yang baru bangun dari tidur. Bisa-bisa masalah akan semakin runyam.
“Bunda tidak bisa ya, bicara baik-baik?” tanya Geri, menantang. Dia bangkit dari kasur. Dengan tangan bergetar, dia pungut ponselnya yang sudah hancur. “Semua orang di dunia ini harus tahu ya, Bunda marah?”
“Keluar kau dari rumah ini!” teriak Marni. Dadanya naik turun. “Aku tidak mau hidup satu rumah dengan laki-laki pemalas! Kau tidak lebih dari peniru ayahmu! Kau akan tumbuh besar seperti ayahmu!”
Mulut Geri terkunci. Rahangnya mengeras. Dengan penuh benci, dia balas tatapan bundanya dengan bengis. Setelah itu, dia lekas beranjak mengambil ransel sekolahnya. Buku-buku yang ada di dalam ransel itu dia keluarkan dengan sembarangan. Kemudian dia buka lemari, dimasukkannya beberapa pakaian dengan asal.
Tanpa bicara lagi, Geri angkat kaki dari rumah. Diindahkannya panggilan dari neneknya yang tampak cemas. Diabaikannya bujukan Rukshah yang khawatir. Dia tidak tahu harus ke mana. Kepalanya begitu sakit. Tetapi yang jelas, dia ingin pergi jauh dari bundanya. Dia tidak mau lagi menoleransi kegilaan wanita itu.
Hatinya sangat sakit. Dia tidak suka disamakan dengan ayahnya meskipun terkadang, perihal malas yang dikatakan bundanya tidak salah. Tetapi dia bukan ayahnya! Dia tidak akan tumbuh seperti Ilyas! Pokoknya tidak akan!
Geri meremas rambutnya. Dia tidak punya uang di saku celana. Ponselnya rusak sehingga dia tidak bisa menghubungi Orin–satu-satunya orang yang terpikirkan olehnya–. Jika ada Orin di rumah, pastilah wanita itu akan membelanya. Tetapi Orin malah menyelamatkan diri duluan ke Jogja dan meninggalkannya membusuk sendirian di Padang, dengan dua orang tua yang tidak bisa diandalkan.
***
“Geri hilang!” pekik Niam di telepon.
Orin sampai harus bertanya berkali-kali apa maksud neneknya itu, karena terdengar begitu absurd. “Bicaralah yang jelas, Nek. Apa maksudnya Geri hilang? Sejak kapan dia tidak ada di rumah?”
Niam mengatur napasnya. Kemudian setelah sedikit tenang, dia coba bercerita dengan runut pada Orin. “Adikmu sudah hilang sejak pagi. Tidak ada yang tahu dia di mana. Dia pergi dari rumah dengan membawa baju-bajunya.”
“Tidak bisa ditelepon?” tanya Orin sembari melirik jam dinding di kamar kosnya. Sudah hampir pukul sepuluh malam.