Rumah Gadang Nek Niam

Annsilly Junisa
Chapter #12

Sebuah Usaha Memahami

Padang, awal tahun 2015


Niam punya kebiasaan baru. Selepas salat subuh, dia bergegas naik ke lantai dua untuk memastikan Geri sudah bangun dari tidurnya. Jika belum, dia guncang-guncang badan anak itu dengan sabar sampai kesadarannya datang. Dia melakukan hal itu untuk menghindari konflik, di mana Mirna mengamuk karena anak laki-lakinya dia cap pemalas dan Geri membenci bundanya karena terlampau kasar.

Ibu dan anak itu masih diam-diaman meskipun drama pelemparan ponsel dan kabur dari rumah itu sudah berlalu hampir sebulan. Ilyas tidak jelas keberadaannya. Sesekali dia muncul di rumah dan memperkeruh suasana. Seperti waktu dia muncul pasca Geri kabur, dan berkata, “Kau sabar ya, Geri. Bundamu memang seperti itu. Emosinya tidak bisa dikontrol. Lisannya seperti tidak sekolah.” Jadi bukannya menenangkan, dia justru membakar kebencian. Terkadang Niam berharap dia tidak usah datang saja. Tetapi tampaknya Ilyas ingin mengambil peran sebagai bapak yang baik setelah anaknya berkonflik dengan istrinya.

Suatu siang, selepas salat zuhur, Marni mendatangi Niam dan mengatakan kalau dia hendak bercerai dari Ilyas. Kali ini dia serius dan benar-benar menginginkan perpisahan. Tentu saja hal itu membuat Niam kaget. Pasalnya selama ini, meskipun perang pecah di antara mereka, meskipun berbagai barang dilempar sampai hancur, kata cerai itu tidak pernah terucap. Entah apa yang merasuki Marni sampai akhirnya dia memantapkan hati. Tidak ada yang tahu. Namun Niam menduga-duga hari di mana Geri kabur dari rumah itulah pemicunya. Marni mungkin menyesal telah mengusir anaknya sendiri dan mulai sadar kalau semua kegilaannya itu berasal dari suami yang tidak bisa diandalkan. 

“Kau sudah bicara dengan Ilyas?” tanya Niam dengan wajah khawatir.

Marni menggeleng. Dia bicara tanpa ekspresi. “Tidak usah dibicarakan. Langsung saja masukkan berkas ke pengadilan.”

“Mana bisa begitu, Marni,” desis Niam. “Kau harus bicara dulu dengan suamimu. Baru kalian putuskan langkah berikutnya bersama.”

Hati kecil Niam masih menolak persoalan cerai itu. Dia tidak mau ada pernikahan yang selesai dalam keluarganya. Cukuplah terakhir putusnya pernikahan itu dialami oleh abaknya. Dan jika bicara soal Abak, ujung-ujungnya pernikahan itu tersambung kembali. Jadi, tidak ada yang benar-benar selesai.

Niam teringat lagi perkataan Abak ketika hendak kembali pada Mak Siti, soal sosoknya yang dibutuhkan Elisa untuk menikah. Juga betapa tabunya dalam masyarakat jika anak perempuan itu menikah tanpa sosok bapaknya. Akankah hal yang dianggap memalukan itu akan dirasakan oleh Orin, cucunya? Akankah Orin kelak menikah tanpa didampingi orang tua yang lengkap? 

“Bagaimana dengan anak kalian? Orin dan Geri…,” kata Niam lagi. Berbagai pikiran buruk berkecamuk dalam kepalanya.

Marni menatap Niam dengan dingin. Ada sedikit luka terbersit di matanya, samar. “Aku sudah bicara dengan Orin. Dia bilang, dia sudah menginginkan perceraian kami sejak lama.”

Kerongkongan Niam tercekat.

“Geri tidak peduli. Dia membenci kami berdua,” lanjut Marni lagi. Setelah itu, perlahan pelupuk matanya menggenang. Emosi yang selama ini dia redam mulai tidak terbendung. Akhirnya dia menangis juga. “Anakku membenciku…. Anak yang dulu begitu manis itu….”

Niam yang lembut hatinya ikut menangis. Dia menerka-nerka, apa yang akan Sudirman katakan pada Marni andai suaminya itu masih hidup. Akankah Sudirman mendukung gagasan cerai tersebut? Atau akankah laki-laki itu menentang keputusan Marni?

Yang jelas, satu. Niam merasa gagal menjadi orang tua. 


***


Yogyakarta, awal tahun 2015


“Sedang apa?” tanya Seno yang tiba-tiba muncul di belakang Orin. Gadis itu sedang asyik menekur, membaca novel yang dipinjamkan temannya, di teras sekretariat mahasiswa. 

Suara Seno membuat Orin tersentak kaget. Dia nyaris memukul laki-laki itu sebagai tindakan defensif pertama yang menggerakkan ototnya. “Kaget, Mas! Astagfirullah….” Wajahnya berlagak kesal, tetapi jantungnya berdetak tidak karuan. 

“Itu buku apa?” tanya Seno lagi, mengabaikan reaksi Orin yang berlebihan. Dia langsung menghempaskan tubuhnya ke kursi terdekat.

“Novel.”

“Novel apa?”

“Novel romance.”

“Tentang apa?”

“Banyak sekali pertanyaannya!” seru Orin, kesal lagi. 

Seno tergelak. “Kamu sih, jawabnya satu kata terus. Aku kan, ingin mendengarkan penjelasanmu sejak pertanyaan pertama kulontarkan.”

“Memangnya kalau aku jelaskan, Mas Seno mau baca juga?” tanya Orin, skeptis.

“Iya. Dengan catatan, kamu harus berhasil meyakinkanku kalau ceritanya bagus.”

“Ah, apa untungnya buatku? Mas Seno mau baca prasasti Bahasa Sanskerta juga aku tidak peduli.”

Seno menopang dagunya dengan tangan kiri. Tatapannya jahil saat berkata, “Hei, bukankah menyenangkan kalau punya teman untuk mendiskusikan buku yang kamu baca? Aku ini sedang menawarkan diri, lho.”

Pipi Orin menggelembung. Dia sedang membunuh rona merah yang perlahan menjalar hangat di wajahnya.

“Jadi, novelnya tentang apa?” tanya Seno lagi dengan senyum mekar.

“Tentang seorang anak yang menderita karena perpecahan orang tuanya,” sahut Orin.

Kening Seno mengerut. “Di mana romance-nya?”

“Secara garis besar, anak ini tumbuh dengan trauma yang dalam karena rumahnya berantakan. Dia selalu skeptis soal laki-laki, soal cinta, sampai dia bertemu dengan seseorang yang bisa membuatnya merasa utuh kembali,” jelas Orin. “Di situ letak romance-nya. Laki-laki itu menawarkan cinta yang besar, yang mampu membuatnya kembali percaya bahwa dia berhak bahagia.”

Lihat selengkapnya