Padang, 1970
Sudirman tidak mau beranjak dari sisi ranjang bayi kecilnya yang baru lahir. Anak itu dia beri nama Marni, diambil dari nama kekasih tokoh Si Buta dari Gua Hantu, komik yang sedang digandrungi murid-muridnya. Dia baru tahu dua tahun setelahnya kalau ternyata tokoh Marni itu mengkhianati Si Buta dengan menikahi orang lain. “Tidak apa-apa. Dia kuberi nama Marni karena cantik,” ujar Sudirman kala itu, menjelaskan pada murid-muridnya yang terus protes soal nama anaknya.
Sudirman menyentuh tangan kecil Marni dengan gemas. Bayi berusia satu minggu itu menggenggam jarinya dengan erat, membuat Sudirman takjub. Tidak ada yang lebih kuat dibanding cengkraman bayi.
“Uda sudah menatapnya sejak tadi. Bisa-bisa kepalanya bolong,” gurau Niam.
“Aku senang sekali akhirnya punya anak yang mirip denganku,” jawab Sudirman dengan senyum merekah. Suaranya sedikit berbisik, takut bayinya bangun.
“Bagaimana dengan Rochmat dan Rukshah? Memangnya mereka tidak mirip denganmu?”
“Semua orang yang punya mata bisa tahu kalau kalian kembar tiga.”
Niam tertawa.
“Tetapi lihatlah Marni. Hidungnya mirip denganku. Dia akan tumbuh besar menjadi duplikatku,” kata Sudirman lagi.
Niam mendekap Sudirman dari belakang dengan penuh kasih. “Meski begitu, kelak janganlah Uda pilih kasih dan hanya sayang pada Marni. Jangan mentang-mentang wajah kalian sama, maka Uda spesialkan dia.”
“Tidak akan. Aku akan menjadi bapak yang adil,” sahut Sudirman, mantap.
“Benarkah?”
“Iya. Pegang janjiku.”
“Masalahnya, sekarang saja Uda sudah tidak adil. Lihatlah itu, Rukshah mengintip terus di balik pintu,” tunjuk Niam. “Uda terlalu fokus memandangi wajah Marni hari ini, sampai-sampai lupa bermain dengannya.”
Rukshah kecil mendekat setelah orang tuanya sadar dia hadir di sana. Dengan manja, dia duduk di pangkuan Sudirman, lalu menyandarkan kepalanya ke dada laki-laki itu.
“Kau menunggu Papa, ya?” tanya Sudirman sambil mengelus rambut Rukshah.
“Iya,” jawab anak itu.
“Maafkan Papa. Papa terlalu asyik melihat wajah tidur adikmu. Kemarilah. Coba kau lihat juga,” ajak Sudirman. “Adikmu manis sekali kan? Dulu kau juga sekecil ini. Apa kau ingat?”
Rukshah menggeleng.
Niam menyikut Sudirman. “Mana mungkin dia ingat,” bisiknya.
“Sebentar lagi, Marni juga akan tumbuh besar seperti kau, Rukshah. Lalu kalian bisa bermain boneka bersama. Kau jaga adikmu baik-baik, ya,” ujar Sudirman.
“Iya, Pa,” sahut Rukshah.
***
Padang, 2015
Memori itu kembali berputar di kepala Niam.
Setiap kali keheningan melanda, dia akan terlempar ke dalam kenangan hangat yang pernah diberikan Sudirman. Terlebih di tahun pertama kehadiran Marni dalam hidup mereka, saat Sudirman tampak begitu berbunga-bunga. Senyumnya terus merekah seiring dengan pertumbuhan gadis mungil yang katanya mirip sekali dengannya itu. Kebahagiaan itu lalu menular pada Rochmat yang kala itu masih berusia empat tahun, dan Rukshah yang baru berusia dua tahun. Rumah jadi ramai dan hangat sekali.
Meskipun Sudirman tidak pernah membeda-bedakan kasih sayang yang dicurahkannya pada anak-anak mereka, tetap saja secara otomatis Marni menjadi anak yang paling dekat dengannya. Mungkin benar katanya, karena mereka begitu mirip. Tidak hanya wajah Marni saja yang menjiplaknya, sifat mereka pun sama. Jika Rochmat tumbuh menjadi anak yang mengayomi, Rukshah menjadi anak yang lembut dan manis seperti Niam, maka Marni adalah anak yang ambisius dan keras kepala persis seperti Sudirman. Mereka bisa kompak sekali mendiskusikan suatu topik yang tidak dipahami Rochmat dan Rukshah. Tetapi jika bertengkar, maka mereka tampak seperti dua banteng yang tengah beradu tanduk. Tidak ada yang mau mengalah.
Jika Marni sudah memiliki sebuah tujuan, maka dia akan fokus pada tujuan itu. Dia akan mengerahkan segala upaya agar tujuannya tercapai. Misalnya saat dia ingin bisa membawa mobil di bangku SMA, sedang Sudirman melarangnya karena belum cukup umur. Maka saat ayahnya itu lengah, diambilnya kunci mobil itu dari lemari, kemudian dia coba sendiri kemudi itu tanpa pendampingan. Akibatnya, mobil pertama yang dibeli Sudirman dari tabungannya itu terperosok ke selokan dan Marni dimarahinya habis-habisan. Apakah Marni kapok dan menyesal? Tidak. Dia justru mendebat Sudirman soal seharusnya laki-laki itu memberi izin dan mengajarinya saja. Dengan begitu, dia tidak akan bertindak seperti maling.
Terkadang, kedekatan Sudirman dan Marni membuat Niam bahagia. Tetapi sering juga dia dibuat pusing oleh dinamika ayah dan anak itu. Dia merasa sulit untuk masuk di antara keduanya, karena hanya di antara mereka yang paham dengan satu sama lain. Makanya kala hubungan Marni dan Ilyas memburuk, Sudirman lah yang selalu hadir sebagai penengah. Hanya Sudirman yang bisa mengajak Marni bicara.
Sekarang, Sudirman sudah tiada. Marni telah kehilangan teman diskusinya. Tidak ada lagi yang mengancam akan mendobrak pintu kamarnya saat dia mendiamkan Ilyas. Tidak ada lagi yang memahami alasan di balik sikapnya yang keras tanpa perlu dia bicara panjang lebar. Dan Niam tidak kuasa menggantikan posisi Sudirman itu. Terkadang, dia berusaha sebisanya, melakukan hal-hal yang biasa Sudirman kala Marni dan Ilyas saling berteriak. Tetapi ujung-ujungnya, dia ikut menangis bersama Marni. Hatinya tidak kuat. Dia tidak setegar Sudirman.
Siang ini, jadwalnya sidang pertama perceraian Marni dan Ilyas. Niam hadir sebagai saksi. Begitu juga dengan Rukshah dan suaminya, Dodi. Mereka semua duduk di bangku ruang sidang yang dingin, menunggu Ilyas datang. Tetapi sampai persidangan itu selesai, orang itu masih tidak muncul.
Sidang lalu berikutnya dijadwalkan dua minggu lagi.
Dengan wajah lesu, Marni keluar dari ruang sidang. Dia mengabaikan Rukshah dan Dodi yang pamit padanya–mereka ada urusan lain setelah ini–. Kemudian dia berjalan gontai menuju ujung lorong. Niam mengekornya dari belakang.
Jika Sudirman masih hidup, apa yang akan dikatakannya pada Marni dalam kondisi seperti ini? pikir Niam dalam hati. Dia tidak kunjung mendapat jawaban. Mungkin hal terbaik yang saat ini bisa dilakukannya hanyalah dengan menjadi dirinya sendiri.
Niam berlari sedikit untuk mengejar Marni. “Tunggu Mama, Nak!” serunya.
Marni tidak menyahut.
“Kau tidak mendengar Mama memanggilmu, kah?” tanya Niam begitu dia berhasil menyejajarkan langkahnya dengan Marni. Napasnya jadi tersengal-sengal. Dengan sisa tenaga, dia raih lengan Marni untuk dirangkulnya. “Kau mau makan di luar dulu dengan Mama?”
Marni menepis tangannya. “Aku mau langsung pulang saja.”
“Kau tidak lapar? Kau belum makan dari pagi. Di rumah tidak ada makanan.”
“Tidak apa-apa.”