Padang, 2015
“Katanya tidak suka kucing,” ledek Geri saat melihat Niam tengah duduk memangku Oren di ruang tengah. Neneknya dan kucing oranye gendut itu sedang menikmati serial India berdua. “Kok, sekarang menempel terus?”
“Dia yang menempel pada Nenek. Kan, tidak mungkin kalau Nenek tendang ke luar. Itu namanya kekerasan pada binatang,” kilah Niam. Jari-jari tangannya sibuk menggelitik bagian belakang telinga Oren. Kucing itu sampai merem-melek dibuatnya.
“Orang yang bilang benci pada kucing, pasti akan menjadi pecinta kucing cepat atau lambat. Hewan-hewan licik itu tahu cara mengambil hati manusia,” kata Geri sambil tertawa. Dia lalu menghempaskan dirinya ke sebelah Niam.
“Tumben kau duduk di sini. Biasanya kau sibuk main game di kamar. Kau mau nonton India juga?”
“Memangnya se-seru apa, sih?”
“Pemainnya tampan-tampan.”
Geri tergelak lagi. “Ternyata selera Nenek yang seperti itu, ya? Yang berjenggot? Kalau begitu, mengapa menikah dengan Kakek? Kakek kan, tidak punya jenggot!”
Niam senyum-senyum penuh arti. Matanya lurus menatap layar TV meskipun pikirannya terbang ke masa lalu. Cucunya itu tidak tahu saja kalau Sudirman pernah mencoba menumbuhkan jenggotnya saat muda dulu, setelah Erna–anak terakhir mereka– lahir. Pemicunya karena saat itu Niam tengah tergila-gila pada Rhoma Irama, yang selalu tampil dengan jenggotnya yang khas. Sudirman sampai membeli obat penumbuh bulu agar wajahnya rimbun. Sayang, usaha itu tidak membuahkan hasil. Wajahnya tetap saja licin sampai akhirnya dia menyerah.
Kala itu, Sudirman berkata, “Kau masih akan tetap mencintaiku, kan? Meskipun aku hidup tanpa jenggot seperti Rhoma….” Dan Niam tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Karena itu, Sudirman jadi cemberut dan mendiamkannya setengah hari.
Terlepas dari sifatnya yang kaku dan keras sebagai seorang bapak, Sudirman selalu saja manis pada Niam saat menjalankan perannya sebagai suami. Karenanya, kenangan soal pria itu mampu membangkitkan bunga-bunga di hati Niam yang tengah tertidur. Di dalam ingatannya, Sudirman selalu muncul dalam sosoknya yang masih muda dan tegap. Sehingga saat Niam merasa sedih dan kesepian, memandangi fotonya bersama Sudirman dapat memberikan kekuatan untuk bertahan. Sudah setahun dia hidup bertopang kenangan seperti itu.
Sudah setahun sejak Sudirman berpulang duluan.
“Lihat itu, Oren tertidur lelap,” kata Geri, memecah lamunan Niam yang tersamarkan serial India. “Nyaman sekali dia duduk di pangkuan Nenek.”
“Tampaknya dia lelah. Seharian tadi dia sibuk mengejar tikus di gudang belakang. Sampai berantakan kain-kain pelaminan Nenek dibuatnya.”
“Namanya saja kucing oranye, ya begitulah kelakuannya. Barbar!”
“Namanya Badung, bukan Oren. Mengapa kau selalu saja memanggilnya Oren? Nanti dia tertukar dengan Orin, kakakmu,” protes Niam kemudian. Lalu dia bicara pada kucing itu. “Iya kan, Badung? Nama kau Badung kan, benar?”
Geri bergidik geli mendengar suara neneknya yang dibuat seperti bayi itu. “Namanya Oren ya karena dia oren.”
“Cukup. Namanya Badung!”
“Nenek tahu kan, nama adalah doa? Kalau Nenek terus memanggilnya Badung, pantas saja kelakuannya seperti preman begitu.”
“Lalu bagaimana biar dia tidak mengacak-acak kain pelaminan Nenek? Haruskah namanya kita ubah jadi Saleh?” tanya Niam dengan raut muka polos.
Geri menepuk jidat. “Terserah saja, deh.”
“Heh, Badung! Mulai sekarang nama kau Saleh!” seru Niam pada Badu–Saleh.
Marni tiba-tiba berlalu di depan Geri dan Niam. Dia baru saja pulang dari pasar, membeli beberapa bumbu dapur yang habis. Entah dia mengucapkan salam dengan sangat pelan, atau tidak sama sekali, kemunculannya seperti hantu. Dia langsung melesat ke dapur tanpa berbasa-basi dengan dua orang itu.
Sejak sidang perceraiannya yang pertama, Marni hanya bicara jika ada hal yang penting saja. Sisanya dia sibuk sendiri di dapur, mengolah masakan dan kue-kue untuk dijual. Dia menyibukkan diri agar pikirannya tidak kacau, dan sekaligus berusaha menghasilkan uang karena Ilyas benar-benar sudah tidak bisa diharapkan. Batang hidungnya belum tampak di rumah itu sejak berkas cerai dimasukkan ke pengadilan.
Menurut Niam, kesibukan Marni adalah hal yang positif sehingga dia membiarkannya. Dia hargai usaha anaknya itu. Tidak lagi dia intervensi apapun agar Marni bisa berkembang dengan niatnya sendiri. Hal itu juga dia katakan pada Rochmat. “Jangan usik adikmu itu. Biarkan dia sibuk sendiri. Itu lebih baik daripada dia mengurung diri di kamarnya berhari-hari.”
“Nenek sudah memberitahu Kak Orin soal sidang kemarin?” tanya Geri dengan suara pelan setelah memastikan bundanya tidak akan mendengar mereka.
Niam mengangguk.
“Lalu, apa reaksinya?”
“Katanya bagus. Semakin cepat semakin baik,” jawab Niam.
“Syukurlah.”
Tangan Niam yang sebelumnya sibuk membelai Saleh, kini berpindah ke pundak Geri. Ditepuk-tepuknya dengan pelan pundak cucunya itu. “Kau jangan terlampau sedih. Mungkin memang ini jalan yang terbaik buat orang tuamu.”
Geri menggelengkan kepalanya. “Aku sudah tidak peduli pada mereka. Sebentar lagi juga aku akan meninggalkan rumah ini. Nenek akan membantuku juga kan, seperti Nenek membantu Kak Orin?”