Rumah Gadang Nek Niam

Annsilly Junisa
Chapter #16

Hidup Baru

Padang, 2016


Setahun adalah waktu yang cukup untuk berbenah diri.

Marni tampak mulai pulih dari duka perceraiannya dengan Ilyas. Dia mulai ceria lagi. Sosoknya kembali hangat seperti kala dia remaja, sebelum mengenal apa itu cinta palsu yang ditawarkan pria bermulut manis. Dia kini selalu sibuk. Ada saja yang dikerjakannya. Dan yang paling membuat Niam senang adalah, Marni kembali menekuni hobi lainnya selain memasak, yaitu menjadi penyiar radio. 

Pertama kali Marni berkenalan dengan dunia siaran adalah saat masih duduk di bangku SMA. Dia ikut klub jurnalistik di sekolahnya. Di sanalah dia sadar kalau bicara di depan umum itu menyenangkan, sehingga dia mulai aktif menjadi pembawa acara pentas seni sekolah, dan tentunya menjadi penyiar radio. Waktu itu ada siaran khusus remaja di RRI Padang, yang mana penyiar-penyiarnya merupakan murid SMA. Marni membawakan acara sore itu sampai lulus sekolah.

Atas saran Rochmat yang memiliki kenalan anggota redaksi Sushi FM, Marni melamar menjadi penyiar acara bernama Pantun Balega. Acara perang berbalas pantun itu tayang pukul delapan sampai sepuluh malam. Dan meskipun bayarannya tidak seberapa, Marni sangat menikmatinya. Dia tidak masalah harus pulang larut setiap hari Senin, Rabu, dan Jumat, asalkan pendengarnya senang. Dari acara itu pula kemudian Marni dikenal sebagai Cik Marni yang pintar merangkai dan melontarkan pantun Minang secara spontan. 

Tidak ada yang menyangka kalau Cik Marni yang hangat dan ceria itu, setahun yang lalu merupakan sosok yang suram dan banyak mengurung diri di kamar. Mereka layaknya dua sosok yang berbeda, padahal sama orangnya.

Perubahan bundanya yang begitu drastis itu sempat membuat Orin tercengang saat akhirnya dia pulang kampung setelah dua tahun di rantau. Begitu dia menginjakkan kakinya di ambang pintu rumah, Marni menyambutnya dengan tergopoh-gopoh, lalu menghujam seluruh sudut wajahnya dengan ciuman hangat. 

“Mengapa kau tidak bilang kalau akan pulang?” tanya Marni dengan senyum lebar. Dia menatap wajah Orin dengan haru. “Bunda belum memasak apapun untuk menyambutmu. Kau pasti lelah, ya? Mau makan apa?”

“Aku sengaja merahasiakan kepulanganku karena tidak mau Bunda repot,” sahut Orin dengan nada canggung. Dia berusaha melepaskan rangkulan bundanya itu pelan-pelan.

“Orin, kau sudah sampai?” kata Niam yang baru muncul dari kamarnya. Dia langsung memeluk Orin dengan penuh kerinduan.

“Apa-apaan ini? Jadi nenekmu tahu kau akan pulang, tetapi bundamu tidak?” protes Marni.

Orin dan Niam sama-sama mendelikkan bahu.

Saat Marni sibuk bergumul di dapur dengan masakannya guna menyambut sang anak, Orin berbisik pada Niam. “Nek, siapa orang itu? Itu bukan bundaku.”

“Itu bundamu. Kau ini bicara apa?” tanya Niam, heran.

“Bundaku orang yang suram dan dipenuhi aura kelam. Itu bukan bundaku.”

Niam terkekeh. “Kau tidak pernah melihat sosoknya yang begitu, ya? Itu adalah sifat aslinya. Jauh sebelum bertemu dengan ayahmu, Marni itu sosok yang sangat ceria. Walaupun marah dan kakunya terkadang menyerupai kakekmu, dia adalah orang yang hangat. Temannya bertebaran di mana-mana. Dia adalah anak Nenek yang paling populer.”

“Tidak mungkin…,” desis Orin, skeptis.

“Yah, kau mana tahu. Kan, seumur hidup kau hanya melihat sosoknya yang seperti hantu.”

“Sekarang Nenek paham kan, mengapa aku sangat mendukung orang tuaku bercerai? Karena ini!” seru Orin. “Lihat betapa senangnya anak Nenek itu setelah lepas dari mantan suaminya!”

“Hei, dia itu tetap ayahmu,” ujar Niam sambil mencubit lengan Orin. “Kau tidak boleh kurang ajar. Jangan kau bawa-bawa budaya luar itu ke rumah ini.”

Orin hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dia sangat lelah karena perjalanannya memakan waktu yang lama. Lantaran merahasiakan kepulangannya itu, dia tidak meminta uang pada siapapun. Tabungannya hanya cukup untuk membeli tiket pesawat dari Jakarta ke Padang. Sedangkan dari Jogja ke Jakarta, dia terpaksa menaiki kereta kelas ekonomi, yang tiketnya paling murah. Bangku kereta itu tegak lurus sembilan puluh derajat, tidak bisa dimiringkan. Lalu seolah tidak cukup, selama perjalanan delapan jam itu dia harus duduk bersebelahan dengan seorang bapak tua yang terus-terusan mendengkur dengan keras. Akibatnya dia tidak bisa memejamkan mata barang sebentarpun. Dia baru berhasil tidur selama satu jam saat di pesawat. Alhasil, kini badannya terasa remuk.

Geri baru saja pulang dari sekolah saat Orin hendak mendorong kopernya ke dalam kamar. Dia sama kagetnya dengan Marni saat melihat sosok kakaknya itu.

“Kok, kau ke sekolah? Bukannya ujian akhir sudah selesai?” tanya Orin, tanpa repot berbasa-basi dan temu kangen dengan adiknya itu.

“Aku pergi melihat lomba basket di acara class meeting adik tingkat,” jawab Geri. “Kapan Kakak sampai?”

“Baru saja.”

“Oh…. Oleh-olehnya?”

“Ada, baju kotorku.”

Geri mencebik.

“Geri, tolong kau bantu angka koper kakakmu itu. Tampaknya berat sekali,” kata Niam. “Sebelum itu, copot dulu sepatumu.”

“Oh, iya, lupa,” kata Geri. 

“Senang rasanya, di rumah ada kau, Orin,” kata Niam kemudian. Padahal baru setengah jam Orin ada di situ, tetapi suasana rumah langsung berbeda. “Kau sudah kenalan dengan Saleh? Dia hidup di sini sejak kau merantau.”

“Namanya Oren sebelum menjadi Saleh,” gurau Geri.

“Kita sedang membicarakan siapa, sih?” tanya Orin, bingung.

“Kucing yang sedang tidur di kursi itu.”

“Oh….”


***


“Kau sedang apa?” tanya Orin. Kepalanya mencuat dari balik pintu kamar Geri yang tidak pernah dikunci.

“Hmm, bermain game,” jawab Geri tanpa menoleh. Dia sedang duduk di meja belajarnya ditemani komputer yang menyala.

Orin masuk ke kamar adiknya itu. Dia merebahkan dirinya ke kasur Geri yang berantakan. “Kamar kau bau kandang kambing,” katanya.

“Keluar sana!”

Orin mengabaikan kalimat Geri. Dia sibuk mengamati sekelilingnya. Dan objek yang paling menyita perhatiannya adalah Geri sendiri. Anak itu sudah besar saja. Fisiknya, maksud Orin. Rasanya, dulu Geri tidak setinggi sekarang. 

Dinding kamar Geri penuh dengan poster animasi. Ada Naruto, ada Tokyo Ghoul, dan aja juga gambar tangannya sendiri. Rupanya dia benar-benar mengadaptasi gaya hidup Orin. Dulu semasa sekolah, Orin juga senang menggambar.

“Kau sudah siap menghadapi pengumuman PTN?” tanya Orin kemudian, membuka topik baru. “Kalau kau tidak lulus pilihan satu, bagaimana?”

“Ya, masuk pilihan dua,” sahut Geri.

“Tidak jadi merantau ke Jawa, dong?”

“...”

“Kau sudah tidak apa-apa?”

“Soal apa?”

“Soal tinggal di rumah ini,” kata Orin, mengingatkan. “Kau kan, dulu mau kabur. Apa sekarang kau sudah tidak apa-apa? Soalnya kulihat-lihat, Bunda juga sudah waras lagi. Apa hubungan kalian membaik?”

Geri mendengus. “Yang kau lihat waras itu, cuma permukaannya saja.”

“Hah?”

“Kau tahu kan, tengah malam aku dan Bang Wahid suka memasak mi di dapur? Kami masih sering mendengarnya menangis diam-diam,” tutur Geri tanpa menoleh ke arah Orin. “Rupanya Bunda belum sepenuhnya pulih.”

“Setidaknya, dia sudah tidak kasar padamu, kan?” tanya Orin. Dia tidak terlalu kaget dengan cerita Geri. Justru menurutnya lebih aneh lagi kalau bundanya benar-benar ceria seperti saat menyambutnya tadi. Memangnya segampang itu menghapus memori buruk yang sudah berlangsung menahun dari kepalanya? Kalau memang gampang, Orin mau tahu caranya. Soalnya dia masih menyimpan trauma itu di relung hatinya. 

“Memang sudah tidak kasar,” jawab Geri. “Tetapi kan, aku masih ingat semua kejadian di masa lalu. Aku masih membenci mereka, Kak, orang tua kita itu. Mungkin aku baru bisa melupakannya saat nanti aku sudah tua.”

Wajar, bisik Orin dalam hati. Tetapi entah mengapa, dia memilih tidak mengafirmasi perasaan adiknya itu.

“Besok, temani aku ketemu Ayah, ya,” pinta Orin. “Kalau aku pergi sendiri, pasti canggung.”

“Malas, ah,” jawab Geri.

Orin melempar bantal ke kepalanya. “Kau harus ikut!”

“Tidak mau! Kakak pergi saja dengan Tria!”

“Oh, benar. Kan, ada Tria.”

“Oke, sudah diputuskan kalau begitu.”

Gantian, kini guling yang melayang ke kepala Geri.


***


Keesokan harinya, Orin menyeret Tria untuk menemaninya bertemu Ilyas dan keluarga ayahnya itu. Mereka semua tinggal bersama di rumah mendiang orang tuanya. Rumah itu tak ubahnya sama dengan Rumah Gadang Nek Niam. Ada lebih dari satu kepala keluarga di sana. Bahkan jumlah kepalanya jauh lebih banyak.

Para om dan tante dari keluarga Ilyas menyambut Orin dan Tria dengan hangat. Mereka berceloteh tiada henti soal betapa sudah lamanya mereka tidak melihat wajah Orin. Juga soal gaya berpakaian Orin yang kini tampak seperti gadis Jawa, entah apa maksudnya. 

“Kau sudah punya pacar belum, di sana?” tanya Tante A.

Lihat selengkapnya