Rumah Gadang Nek Niam

Annsilly Junisa
Chapter #17

Reuni Kekasih

Jakarta, 2024


Orin berhasil menyelesaikan seluruh revisi dan editing novelnya dalam waktu singkat. Hal itu membuat orang-orang yang terlibat proyek yang sama langsung ketar-ketir. Karya Orin itu terkesan seperti proyek Roro Jonggrang, tetapi hasilnya luar biasa karena perhatian Bu Bos yang detail terhadap kualitas. 

Pasca menyelesaikan novelnya, Orin langsung terlibat dalam proyek-proyek baru, membuat Fitri memutar bola matanya. Dia tidak habis pikir, mengapa bisa ada orang yang begitu gila kerja seperti Orin? Jika Fitri mengetik artikel dan feature untuk mendapat uang, Orin melakukannya untuk mengisi kepuasan batin. Makanya wanita itu mengambil semua kesempatan yang diberikan Bu Bos. Alhasil, waktu istirahat Orin jadi sangat sedikit. Dia selalu dikejar-kejar deadline. Tetapi bukannya kewalahan, seperti seorang masokis, Orin malah menikmati siksaan itu.

“Kamu yakin, tidak mau pulang sekarang?” tanya Fitri, untuk kesekian kalinya. “Sudah jam tujuh lewat, Orin! Kamu mau lembur sampai jam berapa, sih? Aku sudah menunggumu selama dua jam!”

Orin melirik Fitri dengan tajam. “Kan, aku sudah bilang, jangan menungguku. Pekerjaanku masih sangat banyak. Salahmu sendiri tidak mau mendengarku.”

“Aku kan, ingin mengajakmu makan di tempat baru yang viral di Blok M,” rengek Fitri.

“Makan saja dengan temanmu yang lain.”

“Aku tidak punya teman selain kamu!”

“Astaga….”

“Ayolah, matikan laptopmu. Memangnya kamu tidak kasihan dengan Mang Adi? Masa dia harus menunggumu sampai selesai?” desak Fitri. Dia mulai membawa-bawa nama OB yang biasa menunggu Orin lembur di kantor, karena harus mengunci pintu. “Uang lemburnya tidak sebesar itu. Kamu bisa melanjutkan ceritamu di apartemen.”

Orin mendengus. Dia mulai membereskan dokumen-dokumen yang sedang digarapnya. “Baiklah….”

“Asik!”

“Tetapi aku tetap tidak akan menemanimu ke Blok M,” kata Orin lagi. “Masih banyak yang harus aku selesaikan.”

“Demi Tuhan, Orin! Besok kan, weekend. Kamu bisa menyiksa dirimu dengan tulisan-tulisan itu selama dua hari. Apa salahnya malam ini main dulu denganku?” ujar Fitri, masih berusaha membujuk temannya itu.

Orin tampak menimbang-nimbang sesuatu. 

“Aku traktir!” seru Fitri lagi.

“Ayo, deh! Coba sejak awal kamu bilang begitu,” kata Orin sambil terkekeh.

Fitri menepuk jidat. “Jadi, masalahnya cuma kamu tidak punya uang? Semua deadline itu cuma alasan?”

Orin mendelikkan bahu dengan tampang usil.

Saat mereka berdua tiba di Blok M, Fitri merajuk lagi. Rupanya teman makan viral yang ingin dicobanya itu sudah close order. Dia kesal sekali sampai menghentak-hentakkan kakinya ke tanah.

“Ini semua karena kamu terlalu lama memutuskan!” tuduhnya pada Orin. “Coba saja kita berangkat sejak pukul lima!”

“Ya sudah, sih. Masih banyak tempat makan yang enak di sekitar sini. Kita coba yang lain saja,” ujar Orin, santai. Dia tidak tahu kalau Fitri sudah mememolotinya sejak tadi.

“Sumpah, saat ini aku sedang menahan diri untuk tidak membunuhmu,” desis Fitri.

“Kalimatmu yang barusan itu sudah bisa jadi bukti di kantor polisi.”

“Iya, apalagi kalau ada potongan tubuhmu.”

“Kamu menyeramkan.”

Fitri melayangkan pukulan-pukulannya ke punggung Orin.

“Jadi, kita mau makan apa?” tanya Orin setelah temannya itu capek sendiri. “Lihat, restoran bakmi yang di sana ramai sekali. Bagaimana kalau kita coba?”

“Ya sudah. Ayo,” sahut Fitri, pasrah.

Untung saja restoran bakmi itu tidak terlalu antre. Mereka berdua dengan mudah mendapatkan kursi dan makanan yang mereka pesan datang dengan cepat. Dan untung juga makanan itu rasanya enak. Kalau tidak, pasti Fitri akan merajuk lagi.

Mereka menghabiskan suapan demi suapan dengan diselingi cerita-cerita ringan, soal kehidupan masing-masing. Fitri bercerita soal keponakannya yang mulai merangkak beberapa hari ini, sedangkan Orin bercerita soal kucing yang dipeliharanya di apartemen. Kucing bernama Dimsum itu dia temukan beberapa bulan yang lalu dalam keadaan sekarat di belakang kantor saat hendak pulang bersama Fitri. Tetapi karena Fitri alergi kucing, terpaksalah Orin yang membawanya ke rumah. Dan itu adalah keputusan yang tepat, mengingat betapa lucunya Dimsum menyambut Orin pulang kerja setiap harinya.

“Dia sekarang gembul sekali. Lihat ini, fotonya,” tutur Orin sembari menyodorkan layar ponselnya ke hadapan Fitri.

“Wah, lucunya…. Kamu merawat Dimsum dengan baik. Dia pasti sangat bersyukur, kecuali untuk namanya yang aneh itu,” tanggap Fitri.

Orin tertawa.

Malam semakin larut, dan Orin mulai bersyukur Fitri telah menyeretnya ke Blok M. Rupanya semangkuk hidangan hangat yang nikmat, hiruk pikuk pergaulan Jakarta Selatan, dan udara malam yang sejuk membuatnya merasa rileks. Dia membutuhkan rehat semacam ini sebelum kembali berkutat dengan tulisan-tulisannya. 

Sedikit yang Orin sadar, ternyata ajakan Fitri itu juga merupakan permainan takdir yang mempertemukannya dengan sosok yang telah lama dia lupakan. Saat sosok itu memanggil namanya dengan suara yang masih sama, dia mematung cukup lama. Mungkin di kepalanya dia bertanya-tanya apakah dia sedang bermimpi, atau benar kejadian ini nyata?

“Orin,” sapa Seno yang kini berdiri di sebelah mejanya. “Benar Orin, kan?”

Fitri menendang kaki Orin. Tatapan matanya mengisyaratkan kalimat, “Siapa laki-laki manis ini?”

Senyum Seno mekar. Tatapan matanya yang hangat itu masih sama seperti dulu. “Lama tidak berjumpa, Rin.” Dia menyodorkan tangannya untuk bersalaman. “Sudah sembilan tahun, ya?”

Orin kembali ke dunia nyata. Dia lalu berdiri dan membalas uluran tangan Seno diiringi dengan senyum yang kikuk. “Apa kabar, Mas Seno?”

Lihat selengkapnya