Yogyakarta, 2016
Perpisahan dengan Nek Niam terasa begitu pahit bagi Orin. Mereka berpelukan lama dini hari itu, saat Orin mengatakan akan kembali ke Jogja. Begitu matahari terbit, Orin langsung mengemasi barang-barangnya, lalu hanya pamit pada Tria dan Geri yang kebetulan ada di ruang tengah saat dia menggerek koper keluar. Setelahnya, dia menghilang dari rumah gadang itu.
Begitu sampai di kosnya di Jogja, Orin menangis sampai tertidur. Harapan-harapan yang tumbuh dalam dadanya begitu melihat bundanya tampak normal beberapa hari yang lalu kembali hancur. Dia merasa berdosa karena tidak mengulurkan tangan dan memberikan kehangatan yang mungkin dibutuhkan bundanya. Tetapi apakah pantas jika seorang anak yang tumbuh dalam kesengsaraan akibat drama hubungan orang tuanya diharapkan bisa memberi kehangatan pada mereka saat dia besar? Mungkin di luar sana, ada anak-anak yang hatinya begitu mulia dan pemaaf. Tetapi itu bukan Orin. Dia hidup lurus tanpa berubah menjadi berandal pemberontak saja sudah syukur.
Orin juga merasa benci. Dia marah karena rupanya, setelah belasan tahun, bundanya masih belum berubah. Masih belum bisa dijadikan sandaran yang nyaman. Masih belum bisa diandalkan. Dia juga marah pada ayahnya yang masih saja seperti pecundang. Masih saja tidak berusaha memperbaiki keadaan. Kedua orang itu menggantungkan harapan akan masa depan yang cerah padanya tanpa merasa bersalah.
Saat kedua orang tuanya bercerai, Orin juga menangis. Tetapi rasanya tidak sesakit ini. Dia masih merasakan sedikit kelegaan saat itu. Berbanding terbalik dengan sekarang, tangisnya merupakan kehancuran yang tertunda. Sebuah keputusasaan yang menyakitkan, yang pasti akan terus membayanginya sampai bertahun-tehun ke depan.
***
Yogyakarta, 2017
Satu semester berlalu dengan cepat. Tanpa terasa sudah tiga tahun Orin merantau ke Jogja. Tiga tahun pula dia menempuh studi di salah satu kampus terbaik negeri.
Jika progres studi Orin berjalan sesuai rencana, maka semester depan seharusnya dia sudah bisa menyusun skripsi. Tetapi sayangnya gadis itu sedikit pesimis. Terlebih setelah nilai mata kuliah yang diambilnya semester lalu muncul di portal. IPK-nya terjun payung. IPS-nya bahkan menyentuh angka dua koma, lebih rendah dari syarat yang ditetapkan lembaga beasiswa yang membiayai kuliahnya. Akibatnya, semester depan beasiswanya terancam dicabut. Padahal beasiswa itu diraihnya dengan susah payah, setelah bergantung pada biaya dari neneknya selama tahun pertama kuliah.
Tidak banyak beasiswa yang meloloskan berkas Orin saat itu. Dia memang miskin, tetapi dia tinggal di rumah yang besar–meskipun itu punya neneknya–, sehingga dia tidak bisa mendaftar beasiswa duafa. Dia juga tidak terlampau hebat untuk mendaftar beasiswa prestasi. Posisinya selalu berada di batas tengah, sulit untuk dikategorikan. Akhirnya, dia selamat berkat sebuah beasiswa yang menerima mahasiswa-mahasiswa yang aktif berkegiatan di kampus. Saat itu esainya tentang pergerakan mahasiswa di masa kini dipuji-puji oleh panitia seleksi.
Saat Orin membayangkan lagi wajah panitia seleksi yang memujinya itu, dia hanya melihat raut kecewa. Rupanya, Orin yang diharapkannya mampu membawa perubahan bahkan tidak mampu memperbaiki keadaan hidupnya sendiri. Malah, kondisinya semakin tidak karuan.
Selama libur semester, Orin hanya mengurung diri di kamar. Dia jarang makan, jarang minum, dan hanya bergelung di balik selimut sampai matahari terbenam. Pikirannya berkecamuk, kusut, dan memusingkan, sehingga rasanya dia bisa muntah sewaktu-waktu. Dia menolak ajakan main dari teman-temannya yang sesama tidak mudik, bahkan cenderung mengabaikan pesan-pesan dari mereka.
Orin menemukan kenyamanan dalam gelap. Dia ingin terus-terusan menutup matanya. Jika tidak bisa tidur, dia tetap memejamkan mata sampai lelah dan bosan melanda.
Aku ini sedang apa sebenarnya? Pertanyaan itu sering terlintas di kepalanya. Tetapi dia tidak menemukan jawaban meskipun sudah mengeksplorasi segala kemungkinan. Yang dia tahu hanya, dia berharap waktu berhenti. Atau dunia kiamat saja sekalian, itu lebih baik.
Suatu siang, Orin terbangun dari tidurnya akibat suara gedoran di pintu kamarnya.
“Orin…, kamu ada di dalam?” suara Alya. Gadis itu mengetuk-ngetuk pintu kamarnya dengan sedikit agresif.
Orin mengerjap-ngerjap mengumpulkan nyawa. Kepalanya sakit sekali. Setelah bangkit dari kasur, dia baru menyadari keadaan kamarnya yang seperti kapal pecah. Tidak hanya pecah karena barang yang berserakan, tetapi juga karena tumpukan sampah yang berserakan di lantai. Sejak kapan dia membiarkan sampah-sampah itu di sana?
“Alya?” tanya Orin meskipun dia sudah hafal betul suara sahabatnya itu.
“Iya, ini aku Alya. Buka pintunya, Rin.”
“Kok, kamu sudah di Jogja? Sebentar sekali di Manado-nya….”
“Buka dulu pintunya. Kamu mau kita ngobrol tanpa bertatapan begini?” desak Alya.
Orin membuka pintunya sedikit, sekadar cukup untuk mengeluarkan kepalanya. “Aku sedang tidak enak badan, takutnya kamu tertular. Sebaiknya jangan masuk ke kamarku.”