Rumah Gadang Nek Niam

Annsilly Junisa
Chapter #19

Menyelamatkan Diri

Jakarta, 2018


Hujan di bulan November selalu saja ganas dan beruntun. Terkadang saking besarnya volume air yang turun, Jakarta tenggelam barang selutut.

Hari ini pun hujan seperti hari-hari sebelumnya. Orin menatap ke luar jendela. Dari lantai tiga puluh itu, dia bisa melihat mobil-mobil yang terjebak macet bak titik-titik merah yang menggumpal. Harapannya untuk pulang lebih awal sudah terkubur ke dasar bumi. Dengan situasi di luar sana, pilihannya hanya dua; terjebak di kantor atau terjebak di jalan. Dan tentu saja terjebak di kantor menjadi pilihan yang paling aman.

“Orin, kami mau turun untuk makan malam. Kamu mau ikut?” ajak seorang senior yang tahu-tahu sudah berdiri di samping Orin.

“Aku belum terlalu lapar, Kak. Duluan saja,” sahut Orin.

“Memangnya kamu makan apa sebelum ini?”

“Mi goreng.”

“Oh, ternyata kamu pelaku pencemaran udara tadi sore, ya?” gurau si senior. “Bau mi gorengmu memenuhi ruangan!”

Orin tergelak. 

Jika saja waktu itu Alya tidak menyeretnya keluar kamar, mungkin Orin tidak akan berada di titik yang sekarang. Dia banyak berterima kasih pada sahabatnya itu, karena terus menemani setiap langkahnya dalam memulihkan diri. Alya selalu memastikan Orin makan, masuk kelas, dan mengerjakan tugas. Dia juga memperkenalkan Orin pada layanan peer konselor kampus yang dapat diakses secara cuma-cuma. Dengan begitu, Orin dapat berdialog soal masalah yang menderanya, dan didampingi tenaga profesional. 

Selain itu tidak hanya Alya, teman-temannya yang lain–Tinah dan Bintang– juga sama suportifnya. Meskipun mereka semua tidak tahu akar permasalahan yang memberatkan Orin, tetap saja mereka mengulurkan tangan. Dengan saling bahu-membahu, mereka menyelesaikan tahun terakhir akademik dan berhasil lulus berbarengan. 

Empat sekawan itu wisuda di bulan Agustus 2018. Hanya keluarga Bintang yang hadir lengkap di acara pemindahan toga. Tiket dari Manado ke Jogjakarta terlalu mahal untuk memborong keluarga Alya. Tinah adalah anak yatim piatu. Sedangkan Orin, keluarganya tidak dapat diharapkan kecuali Nek Niam. Meski begitu, kondisi kesehatan neneknya itu belakangan menurun drastis. Terkadang, beliau bahkan tidak sanggup turun dari tempat tidur. Alhasil, terpaksalah mereka yang wisuda tanpa keluarga itu saling mengisi kekosongan. Hari itu tetap berkesan dan seru.

Orin langsung bekerja di perusahaan media selepas wisuda. Tidak terasa bahkan saat ini sudah memasuki bulan ketiga. Dia diterima sebelum resmi lulus dari kampus karena portofolionya yang memikat. Kini dia ditempatkan di bagian redaksi yang bertanggung jawab dalam publikasi digital. 

Orin suka pekerjaannya yang tidak jauh-jauh dari dunia tulis-menulis. Sesuatu yang sudah digandrunginya sejak masih sekolah. Ditambah lagi lingkungan kerjanya yang sangat suportif, membuatnya betah. Dia jadi tidak sungkan untuk bertanya dan belajar dari siapapun yang memiliki kompetensi di atasnya. 

Dengan dimulainya babak baru kehidupan Orin itu, artinya telah berhasil usahanya menyelamatkan diri sendiri. Kini dia sudah punya penghasilan, meskipun nominalnya belum fantastis. Dia bisa mulai bergerak untuk menyelamatkan orang lain, alias adiknya yang sudah mulai pula merantau ke Jogja, di kampus yang sama dengannya.

Namun yang namanya hidup, tidak bisa isinya hanya kebahagiaan saja. Setelah selesai Orin dengan masalah mentalnya yang kacau dalam proses penerimaan kondisi orang tuanya, muncul masalah baru yang kini memberatkan pikirannya; perihal kondisi kesehatan neneknya. Wanita tua itu tampaknya tidak akan bertahan lama. Setiap kali Orin bicara dengannya di telepon, dia sering mengucapkan wasiat-wasiat, seolah malaikat akan membawanya pergi sewaktu-waktu. Hal itu membuat hati Orin terluka.

Percakapan mereka semalam contohnya.

“Kapan kau akan menikah, Rin?” tanya Niam di telepon.

Orin sampai tersedak mendengarnya. “Aku masih dua puluh tiga tahun, Nek. Masih muda sekali!”

“Nenek ingin melihatmu menikah. Jangan lama-lama, nanti Nenek keburu dipanggil Tuhan.”

“Bicara apa Nenek? Kan, Nenek masih muda.”

“Umur Nenek sudah tujuh puluh satu.”

“Itu masih muda. Nenek kan, akan hidup sampai umur seratus,” kata Orin, menenangkan. “Nenek akan melihatku menikah dan melahirkan anak-anak yang lucu. Tetapi tidak dalam waktu dekat.”

“Untuk apa hidup lama-lama sampai umur seratus? Kakekmu sudah tidak ada. Teman-teman Nenek pun sudah mati semua. Dunia mulai terasa sepi,” keluh Niam.

“Di rumah kan, banyak orang. Ada Tante Rukshah, Om Dodi, Bang Wahid, dan Tria. Ah, ada bundaku juga….”

“Orangnya memang banyak, tetapi semua mengurung diri di kamar. Mereka sibuk dengan ponselnya masing-masing, bermain Facebook. Nenek tidak mengerti cara mainnya.”

“Hmm, begitu, ya,” gumam Orin.

“Kau betah dengan pekerjaanmu?” Niam mengalihkan topik. “Apa rasanya bekerja di gedung yang tinggi?”

“Betah, Nek, alhamdulillah. Semua orang baik padaku,” jawab Orin.

“Syukurlah,” ujar Niam. Kemudian dia menghela napas. “Andai dulu Nenek tidak putus sekolah, pasti Nenek juga bisa berkarier sepertimu, ya? Memakai jas yang bagus, menenteng map berkas-berkas, lalu berlari-lari mengejar elevator.”

Orin tergelak mendengarnya. “Mana ada orang yang bekerja memakai jas di zaman sekarang? Kami masuk kantor dengan baju kaus yang nyaman. Begitu juga dengan map penuh berkas, sudah tidak ada yang begitu, Nek. Sekarang, orang-orang hanya menenteng laptop di tangannya.”

“Jadi, yang ditampilkan di sinetron itu tidak benar?” tanya Niam.

“Yah…, mungkin masih ada yang begitu, tetapi sedikit sekali. Atau setidaknya, bukan pekerja kreatif sepertiku.”

“Pekerja kreatif itu apa?”

“Orang yang bekerja dengan menggunakan ide-ide baru untuk memecahkan masalah.”

“Ooh…. Semakin banyak istilah baru yang tidak Nenek mengerti. Inilah akibatnya jika hidup terlalu lama. Dunia mulai terasa tidak relevan.”

Orin tidak tahu harus menanggapi bagaimana.

“Kau rutin mengirim uang untuk ayahmu?” tanya Niam, lagi-lagi mengalihkan topik.

Lihat selengkapnya