Rumah Gadang Nek Niam

Annsilly Junisa
Chapter #20

Kekasih yang Lama Hilang

Jakarta, 2024

Seminggu setelah reuni Orin dan Seno


Bu Bos memanggil Orin ke ruangannya. Katanya, ada yang harus mereka bicarakan seputar novel Orin, sehingga gadis itu sedikit panik. Apa yang salah dari karyanya itu? Apakah menyerupai karya orang lain? Apakah menyinggung SARA? Atau apakah terlalu banyak yang tidak menyukainya?

“Justru sebaliknya,” jawab Bu Bos setelah Orin melemparkan pertanyaan-pertanyaan itu. “Ceritamu terlalu memikat, sampai viral di media sosial. Ada yang membagikan potongan kalimatnya, lalu tiba-tiba semua orang bertanya dari mana sumber kata-kata yang indah itu.”

Orin tidak tegang lagi. “Lalu, Bu?”

“Penjualan bukunya jadi meningkat drastis dan akan segera cetak ulang. Mungkin kamu harus mempertimbangkan untuk menulis buku baru.”

“Wow!”

“Dan ada undangan diskusi dari Forum Literasi Muda-Mudi.”

“Eh?”

“Mereka ingin membedah bukumu. Jadi, saya akan menugaskanmu ke sana,” ujar Bu Bos sambil menyodorkan surat undangan yang dimaksud. “Kebetulan topik diskusinya juga menarik, soal ketimpangan pengetahuan antargenerasi dan trauma yang diwariskan dalam keluarga patriarki.”

“Wah, berat sekali, Bu Bos…,” desis Orin, ragu. “Saya tidak punya kapabilitas untuk membicarakan topik itu.”

“Ayolah, Orin. Ini bukan diskusi ilmiah. Lebih ke arah bertukar pikiran dan pengalaman saja,” bujuk Bu Bos.

Orin masih tampak keberatan. “Kapan acaranya?”

“Besok malam,” jawab Bu Bos. “Tidak usah berpikir macam-macam. Bukan acara yang besar, kok.”

“Yah…, kalau Bu Bos sudah bertitah, saya bisa apa….”


***


Sebenarnya, Orin bukanlah orang yang gampang gugup. Dia sudah terbiasa bicara di depan umum sejak masih sekolah. Lomba debat di bangku SMA, orasi mahasiswa saat menjadi pengurus BEM, bookdate berkelompok di Taman Langsat, sampai memberi materi soal media pada karyawan baru di perusahaannya. Meski begitu, beda ceritanya kalau di antara peserta diskusi itu ada Seno. Maksudnya, Seno semasa kuliah saja sudah cukup membuat Orin grogi–meskipun pada akhirnya dia tetap tampil dengan baik–, apalagi Seno yang sudah lama hilang dari hidupnya. Ditambah lagi Seno yang sudah lama hilang itu baru saja menyatakan perasaannya. 

Perut Orin langsung melilit tatkala melihat wajah Seno di bangku depan, saat dia maju ke kursi pembicara. Laki-laki itu tersenyum hangat dan melambai kecil ke arahnya. Akibatnya, cepat-cepat gadis itu memalingkan muka. Dia tidak boleh mengacaukan acara itu hanya karena dia grogi. Bisa-bisa dia disikat Bu Bos.

“Kita sama-sama tahu ya, kalau Melati Oranye itu bukan nama Mbak yang sebenarnya,” ujar moderator yang memimpin acara. “Boleh kami tahu alasannya mengapa Mbak Melati memutuskan untuk memakai nama pena?”

Lihat selengkapnya