Rumah Kaca

Amiralie
Chapter #2

Prolog

Stevia mengendarai mobilnya dengan melewati jalan toll menuju arah pinggiran kota. Selena, adiknya tak pernah melihat kakaknya sangat gelisah sampai-sampai kakaknya berani ngebut di jalan tol yang sedang ramai. Dengan menginjak gas, Stevia menyalip beberapa mobil di depannya yang berjalan lambat seperti siput. Stevia terus memutarkan setirnya dengan merasakan detak jantungnya yang terus berdegup hingga membuat nafasnya sesak. 

Berulang kali Stevia terus membayangkan bingkai foto, surat rahasia, dan kamar terlarang yang tak diperbolehkannya masuk. Tetapi semakin lama dia memikirkannya, semakin sakit hatinya tertusuk. Kedua matanya lurus menatap jalanan dengan tatapan membara. Di depan adiknya, Stevia berusaha menahan tangisannya. Jika perlu Stevia harus sampai di tempat tujuan sebelum keluarganya melacak keberadaanya. 

Di tengah perjalanan, Stevia mendengar ponselnya berdering. Ketika melihat nama layar di ponselnya, Stevia menatap layar ponselnya dengan penuh amarah. Sepertinya dia sudah gila. Bahkan dia berani membuang ponselnya di tengah jalan toll. 

“KAKAK!!!” Selena menarik menggenggam erat sabuk pengamannya dengan ketakutan. Mobil melaju dengan sangat cepat, Selena tambah panik ketika melihat kakaknya sedang melempar ponselnya sendiri. 

Stevia kemudian mengulurkan tangannya. “Selena, kakak akan membelikan iphone eleven untukmu. Jadi, berikan ponselmu ke kakak.” 

Selena yang mengingat gaya kehidupan teman-temannya yang selalu berganti ponsel setiap ada keluaran iphone terbaru, membuatnya selalu merasa terasingkan karena Selena masih menyimpan ponsel jadul yang diberikan kepada kedua orang tuanya yang sangat pelit. 

“Janji ya kak.” Selena menyerahkan ponselnya. 

“Janji.” Stevia melempar ponsel jadul milik Selena ke jalanan. 

Di perjalanan, dia menikmati pemandangan sore dari atas bukit satu ke bukit lainnya yang terlihat sangat hijau. Udaranya terasa sejuk sehingga Selena membuka kaca jendela dan mengeluarkan tangannya untuk merasakan angin. Selena membuka kuncir kepang rambutnya kemudian membiarkan angin menebas rambut coklatnya yang panjang. Stevia menghela nafas dengan tenang ketika dia melihat Selena dari kursi belakang yang terlihat begitu bahagia. 

“Selena, hati-hati dengan pohon.” 

Tak lama mereka memasuki jalanan yang dikelilingi oleh pepohonan yang tinggi. Selena kemudian kembali di kursinya dan menutup jendela karena udara semakin dingin. 

“Kak, apa kita sudah sampai?”

“Sebentar lagi kita akan sampai.” 

Setelah tiga setengah jam Stevia mengendarai mobilnya, akhirnya mereka sampai di depan gerbang kayu yang terletak jauh dari rumah penduduk desa. Dilihat dari luar, gerbang kayu itu tidak memperlihatkan rumah yang berada didalamnya. Setelah Stevia menempelkan jempolnya ke sebuah mesin di sebelahnya. Seketika gerbang terbuka. 

Selena melihat jalanan luas yang berliku ke sebuah bukit. Dari kejauhan, terdapat sebuah rumah setinggi tiga lantai yang dibangun dengan bata merah. Pondasinya dibangun di sebuah bukit yang memiliki pintu garasi untuk memarkir mobil. Rumah itu memiliki atap yang terbuat dari kaca. Terdapat sebuah balkon yang memiliki pagar tinggi berwarna hitam dan lampu-lampu gantung. Terdapat sebuah rumah kaca di bagian samping bangunan rumah. Sekitarnya terdapat pepohonan pinus yang tinggi sehingga membuat penampilan rumah itu terlihat lebih indah. 

Stevia kembali mengeluarkan jempolnya untuk membuka gerbang garasi bawah. Setelah pintu garasi terbuka, Stevia kemudian memarkir mobilnya. Ketika garasi terbuka dengan perlahan, lampu di dalam garasi mulai menerangi dinding-dinding semen yang gelap. Selena melihat terdapat enam tempat mobil bisa parkir di sebuah garasi kecil yang terletak di bawah bukit rumah besar tersebut. 

Di pojokan garasi terdapat sebuah mobil taxi berwarna kuning yang berpenampilan setengah rusak di bagian mesin depan. Selena juga melihat sebuah mobil pick up hitam aneh yang di parkir sembarangan tepat di depan pintu garasi. Bagian belakang mobil terlihat rusak. Selena juga melihat ada bekas cipratan darah yang menyatu dengan cat hitam mobil pick up tersebut. Kaca jendela bagian supir depan juga sudah pecah. Kondisi mobil itu sangat mengenaskan sampai-sampai uap yang dikeluarkan dari dalam mesin masih mengebul walaupun mobil sudah sepenuhnya berhenti. 

“Kak, kita ada dimana?” Tanya Selena yang sedang sibuk memperhatikan mobil pick up rusak yang diparkir di depan pintu garasi. Dia belum pernah pergi ke bengkel sehingga baru pertama kali ini melihat pemandangan mobil rusak yang sangat mengenaskan. Noda darah di mobil pick up hitam jujur saja membuat bulu kuduknya merinding. 

Stevia sedang sibuk mengeluarkan Caelan yang sedang duduk dengan tenang di kursi bayi. Stevia kemudian menggendongnya dan segera mengunci mobilnya. Stevia kemudian baru menyadari bahwa ada noda darah tepat di bagian lampu mobil pick up di depannya. Selena bisa melihat ekspresi kekhawatiran yang tersirat di wajah kakaknya. Stevia membisu selama beberapa menit kemudian setelah melihat kondisi mobil pick up hitam dan mobil taxi di pojokan garasi. 

“Ayo keatas. Ingat ya. Setelah ini bawa Caelan ke kamar atas dan jangan keluar sampai kakak datang.” Stevia kemudian menggandeng tangan adiknya untuk menaiki tangga garasi. 

Selena yang masih berusia 17 tahun selalu ketakutan ketika sedang mengadakan percobaan pembedahan katak di laboratorium MIPA. Selena akan selalu muntah sekalinya dia melihat organ tubuh hewan atau darah yang mengucur dari tubuh tikus yang baru saja menjadi bahan pembelajaran akhir semester lalu. Untuk yang pertama kalinya, Selena baru sekali ini melihat bekas jejak kaki berwarna merah kecoklatan di sepanjang tangga garasi menuju lantai atas rumah. Selena berusaha menunduk dan bersembunyi dibalik tubuh kakaknya. 

“Pergilah…” Stevia kemudian menyerahkan Caelan. 

“Stevia?! Tolong …. Luna… dia…” 

Selena melihat seorang wanita jangkung dengan rambut cokelat tua sepanjang bahu terlihat begitu khawatir dengan perban bernoda darah di kedua tangannya. Cardigan biru yang dikenakannya terlihat sangat mengenaskan oleh bekas noda cairan kental berwarna merah kecoklatan. Wajahnya juga sangat ketakutan sama seperti Selena begitu melihat kedua tangannya bersimbah darah kental yang terus menetes ke lantai kayu di ruang tamu. Lupakan tentang interior rumah, Selena terlau syok melihat pemandangan darah yang pertama kali ditemuinya ketika menaiki pintu garasi menuju ruang tamu. 

Sementara itu, di sampingnya, seorang wanita berambut pirang dengan pakaian bedah berwarna putih sedang duduk di lantai setelah meninggalkan noda darah yang terus mengalir dari bagian bawah tubuhnya. Wajahnya terlihat begitu kelelahan, dia sudah tak bisa menahan rasa sakitnya lagi. Selena ketakutan, dia ingin berteriak histeris namun dia teringat apa yang dikatakan oleh kakaknya. Setelah menggendong Caelan, Selena segera berlari ke tangga. Selena menahan seluruh ketakutannya dengan berlari sekencang mungkin untuk mencari kamar kosong di lantai dua. 

“Luna… kenapa ini…? Luna??” 

Stevia belum pernah melihat darah mengalir sebanyak itu. Stevia berusaha berpikir cepat dan pergi ke dapur. Stevia membuka semua laci di dapur sampai dia menemukan perban dan ember. Setelah mengisi ember dengan air, Stevia segera berlari menuju Luna, wanita berambut pirang yang sedang sekarat karena luka di bagian bawah tubuhnya. 

Ketika Stevia membuka luka di bawah tubuhnya, Stevia menghembuskan nafas dengan penuh kengerian. Darahnya terus keluar banyak dari dalam kemaluannya. Ini bukan lagi menstruasi. Stevia dan sahabatnya, April hanya bisa mengangguk karena mereka berdua sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Darah terus mengalir, Stevia menggunakan perban dan air untuk membersihkan darah yang terus keluar sampai mengotori lantai. 

“Aku akan menelpon ambulans.” Stevia segera pergi ke meja telepon di ruang tamu. 

Luna menarik telapak tangan Stevia kemudian berkata. “Tolong jangan... ada obat di dalam tasku, tolong ambilkan.” 

Kedua tangan April telah bersimbah darah, setelah mencucinya dengan air di ember, April segera mencari tas dari mobil pick up hitam di garasi. 

“Apa yang sebenarnya terjadi?” Stevia mengambil ember lagi dari dapur dan kembali mengisinya dengan air. 

“Jahitannya belum rapi… di tasku ada alat jahit.” Jawab Luna dengan nafasnya yang terus kelelahan berbicara menjawab Stevia. 

Stevia mendengar suara pintu garasi terbuka. Tak lama kemudian, April menaiki tangga bersama dengan seorang wanita berambut keriting yang sedang menggendong anak perempuannya. Anak itu menangis ketika dia sampai di ruang tamu. 

“Luna?....Luna??!!!” Wajah wanita itu terlihat sangat histeris ketika melihat banyaknya darah yang berbekas pada lantai kayu di ruang tamu. Wajahnya terlihat hampir menangis karena melihat kondisi Luna yang begitu mengenaskan. Namun karena anaknya terus menangis, wanita itu segera membawa anaknya ke lantai atas. 

“Kenapa Rika ada disini?” tanya Stevia menatap wajah bingung April. 

April mengangkat bahu dan menghampiri Luna yang sedang tergeletak di lantai. “Aku tak tahu, mobilnya baru saja sampai dan dia tak memarkir mobilnya. Luna, ini tasmu dimana obatnya?” 

Luna kemudian menyambar tasnya dengan kasar. Wajahnya penuh lelah dan berusaha menahan rasa sakit dari bagian dalam perutnya. Seluruh tubuhnya sangat susah bergerak, tenaganya seolah-olah sudah mulai habis karena dipakai untuk berteriak merasakan rasa sakit di sekujur tubuhnya. 

Stevia melihat Luna mengeluarkan jarum bedah dari dalam tasnya. Jemarinya bergetar ketika dia hendak menyambungkan jarum dan benangnya. Stevia menyambar jarum kemudian mulai memasukan benangnya. Stevia jujur saja sedikit ketakutan melihat luka Luna yang sangat mengerikan. Jika bukan karena Luna melarangnya memanggil ambulans, dia tak akan harus berurusan menjahit luka orang yang terlihat mengerikan. 

April memberikan obat yang bertuliskan analgesik kepada Luna. “minumlah ini.” 

Luna menyambar obat dari tangan April. Kedua tangannya bersimbah darah tapi dia tak perduli. Luna diam seribu bahasa berusaha menahan rasa sakit setelah dia menelan sebutir pil yang diberikan oleh April. 

Lihat selengkapnya