Kita semua sudah tumbuh bersama semenjak kelas II SMP bukan. Sepertinya kalian sudah pasti mengenalku. Stevia, murid teladan yang telah mencapai peringkat lima besar karena dia adalah murid yang pintar dan memanggakan kedua orang tuanya. Sudah berkali-kali rak penyimpanan piala di rumahku mulai roboh karena sudah sangat banyak piala dari segala ukuran, segala kompetisi, dan segala olimpiade telah ku ikuti. Hasilnya luar biasa memuaskan. Aku sangat puas akan pencapaian itu, tapi kedua orang tuaku tidak.
Aku tinggal di sebuah rumah sederhana di komplek perumahan elit. Aku mengatakannya sederhana karena diantara yang lainnya, kedua orang tuaku ingin mempertahankan image keluargaku yang begitu sederhana dan membanggakan. Rumahku besar dan megah. Aku dilarang mengatakannya.
Semenjak kecil aku sudah terbiasa dengan kemunafikan yang dilakukan oleh keluargaku. Salah satunya adalah untuk mengenakan topeng demi mendapatkan pujian dari orang lain. Aku bukanlah orang yang suka pujian. Karena itu hanya akan membuat kedua orang tuaku besar kepala. Karena anak adalah cerminan dari kedua orang tuanya. Itulah mengapa mereka terus mempertahankan image ku untuk menjadi yang terbaik dan paling sempurna diantara yang lainnya.
Dulunya aku tak keberatan hidup dalam kemunafikan. Aku sangat haus akan kasih sayang sehingga aku berusaha untuk menjadi anak yang penurut. Benar, aku menuruti apa perkataan mereka.
Menyabotase kompetisi untuk menghilangkan saingan. Sudah kulakukan.
Menggosip teman sendiri di belakang karena dia adalah sainganku. Sudah kulakukan.
Mengadu ke guru dan mengatakan kebohongan karena dia sainganku. Sudah kulakukan.
Benar, aku adalah anak yang sangat penurut. Tetapi setelah aku berusia 14 tahun, aku mulai menyadari bahwa semua yang kulakukan salah. Semua yang mereka suruh membuatku dikucilkan dan kedua orang tuaku terlalu sibuk melindungiku dengan setiap perkataan mereka yang manipulatif. Aku senang mereka membelaku karena aku dikucilkan. Tetapi aku tidak suka mereka adalah penyebab mengapa aku dikucilkan.
Aku selalu sendirian. Aku hidup seperti boneka yang memiliki mulut yang terjahit rapi. Jika aku protes sedikit saja, kedua orang tuaku akan mengatakan aku gila. Bukan aku yang gila, tapi merekalah yang gila.
Bagaimana mungkin mereka tega menciptakan seorang anak tak berdosa untuk mengikuti jejak kaki mereka yang begitu munafik, penuh kebohongan, dan berbahaya untuk kesehatan mentalku. Terima kasih kepada mereka, aku tumbuh menjadi anak yang luar biasa tertutup. Bahkan orang-orang sekitar tidak akan menyadari bahwa aku ada.
Di usia remaja, kebanyakan anak mengkhawatirkan betapa kusamnya kulit mereka yang berjerawat. Untukku aku tak memiliki waktu untuk memikirkan hal semacam itu. Yang kupikirkan adalah selalu tentang hari esok. Aku terus menanyakan banyak pertanyaan tentang hari esok.
Bagaimana jika besok aku tidak sanggup menjalaninya?
Bagaimana jika aku tidak sekuat itu menghadapi esok?
Bagaimana jika esok mengkhianatiku?
Kenapa dunia ini begitu pahit?
Apa karena keluargaku munafik maka aku juga harus ikut dalam jurang mereka?
Apa aku akan mati seperti ini?
Apa tidak ada orang yang bisa mengingatku?
Kapan neraka ini akan berakhir?
Lagipula, apa itu neraka?
Apa itu keluarga?
Apa itu teman?
Apa itu cinta?
Mengapa aku harus hidup?
“Namamu Stevia ya? Haiii...namaku Luna.”
Tanganmu pada saat itu menyelamatkanku.
“Cantik banget namanya, kita sebangku loh. Mulai sekarang tolong bantu aku ya…!”
Setelah Luna, kalian mulai berdatangan.
“Hai, aku Lucianna Aprilia, panggil aja April. Lucia juga boleh, jangan panggil aku Anna karena kakakku namanya Anna jadi agak susah… hehe.”
“Curang, aku duluan kan yang nyapa dia.” katanya. “Hai, namaku Frederika Averia. Kita teman belakang bangku loh...mulai sekarang kita bakalan banyak ketemu, panggil aja aku Rika!”